TEMPO.CO, Phnom Pen - Pemimpin oposisi Kamboja, Sam Rainsy, kembali dari pengasingan guna melawan Perdana Menteri Hun Sen dalam pemilihan umum pada 28 Juli 2013. Kedatangannya disambut ribuan pendukungnya.
Pendukung Sam Rainsy menyemut di lapangan terbang saat pesawat yang ditumpangi pemimpin Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP) itu mendarat di bandara ibu kota Phnom Penh pada Jumat, 19 Juli 2013.
Rainsy, yang telah mendapatkan pengampunan dari Raja Sihanouk sesuai permintaan Hun Sen beberapa hari lalu, tinggal di Prancis sejak 2009. Pria ini pernah mendekam dalam penjara selama 11 tahun setelah diadili secara in absentia. Namun, menurut dia, proses peradilan tersebut berbau politik. Salah satunya, Rainsy dianggap bersalah lantaran menerbitkan peta perbatasan dengan Vietnam.
Ketika tiba di bandara, Rainsy mencium tanah karena telah kembali dari pengasingan setelah melakukan penerbangan melalui Bangkok. "Saya sangat bahagia. Saya kembali untuk menyelamatkan bangsa bersama kalian semua," katanya kepada para penyokongnya, sebelum menuju Taman Demokrasi, tempat dia berpidato.
Pemerintah Kamboja dalam keterangannya kepada AFP mengatakan, permohonan maaf Rainsy diajukan oleh Hun Sen dalam rangka semangat rekonsiliasi. "Rainsy sesungguhnya tidak berhak menjadi seorang calon (anggota parlemen) dalam pemilihan umum 28 Juli 2013."
Hun Sen memegang kekuasaan selama 28 tahun. Dia merupakan perdana menteri terlama di dunia yang memegang kekuasaan sejak 1985. Dalam pemilihan umum yang akan berlangsung beberapa hari lagi, diperkirakan dia bakal menang lagi. Hingga saat ini, partainya menguasai 90 kursi dari 123 kursi yang ada di Dewan Nasional (Parlemen).
Kepulangan pemimpin oposisi ini kuat dugaan terkait dengan tekanan pemerintah Amerika Serikat. Melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri, negeri adidaya itu menyerukan agar penguasa Kamboja mengizinkan tokoh oposisi, Rainsy, kembali tanpa merasa takut atas keselamatan dirinya.
Pekan lalu, sejumlah anggota Senat Amerika Serikat mengusulkan agar bantuan ke Kamboja dipotong bila pemilihan umum yang digelar pada 28 Juli 2013 tidak berlangsung bebas dan jujur.
Pada pemilihan umum terakhir, 2008, Kamboja mendapatkan kritik tajam dari tim pemantau Uni Eropa karena dianggap tidak memiliki standar internasional. Menurut tim pemantau, partai pemerintah mendominasi media dan Komite Pemilihan Nasional, termasuk puluhan ribu orang tidak mendapatkan hak pilih.
AL JAZEERA | BBC | CHOIRUL
Baca juga:
FPI Berlagak Jagoan, Warga Melawan
Begini Kronologi Bentrok FPI di Kendal
7 Bisnis Spektakuler Incaran Yusuf Mansur
Dahlan Iskan: Yusuf Mansur Mau Beli Bank Muamalat