TEMPO.CO, Jakarta -Negara-negara anggota ASEAN mendesak lima negara pemilik senjata nuklir segera ikut meneken perjanjian Traktat Kawasan Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (SEANWFZ). Mereka pun mengundang lima negara besar untuk membahas isu tersebut.
"Akan ada pertemuan dengan lima negara P-5 bulan depan," kata Direktur Kerja Sama Politik dan Keamanan ASEAN Pratap Prameswaran, di Gedung Sekretariat ASEAN, Jakarta, Senin 10 Juni 2013. Negara P-5 adalah lima negara nuklir utama dunia yang terdiri dari Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Prancis, dan Cina.
Pertemuan tersebut dilakukan bersamaan dengan forum ASEAN Regional Forum (ARF) yang digelar di Brunei. ARF adalah forum yang membahas masalah politik dan keamanan di kawasan.
Niat ASEAN agar kawasannya bebas dari senjata nuklir sejatinya hampir terlaksana Juli tahun lalu. Namun tiga dari lima negara pemilik senjata nuklir yakni Inggris, Rusia dan Prancis tiba-tiba mundur dari kesepakatan itu tepat sehari sebelum perjanjian diteken. “Kami terus terang terkejut atas keberatan mereka,” ujar Pratap.
Prancis beralasan senjata nuklir diperbolehkan untuk membela diri sesuai pasal 51 Piagam PBB. Sedangkan Inggris meminta jaminan ASEAN bahwa anggotanya tidak akan membuat senjata pemusnah massal. Adapun Rusia ingin traktar ini melarang pelabuhan dan bandara di ASEAN dilewati kapal dan pesawat pengangkut senjata nuklir.
Padahal, kesediaan mereka sangat penting untuk mengikat kelima negara itu secara hukum. Traktat yang telah dibuat sejak 1995 menuntut negara nuklir agar menghormati kesepakatan tersebut.
AS dan Cina, dua negara pemilik senjata nuklir lain, tidak meminta pengecualian. Namun mereka menunggu hingga kelima negara itu sepakat. "Kami tetap berkomitmen terhadap zona bebas nuklir ASEAN," tutur Asisten Menteri Luar Negeri AS urusan Keamanan Internasional dan Non-Proliferasi, Thomas M. Countryman yang turut hadir dalam pertemuan tersebut.
Untuk itu, Indonesia sebagai salah satu negara anggota ASEAN menawarkan tiga opsi agar ketiga negara itu bersedia berpartisipasi. Pertama adalah traktat diteken tanpa keberatan apapun. Kedua, ASEAN juga berhak mengajukan keluhan atas keberatan ketiga negara itu. “Yang terakhir tentu saja mencari kompromi,” tutur Jose Tavares, Direktur Politik dan Keamanan ASEAN, Kementerian Luar Negeri Indonesia.
L SITA PLANASARI AQUADINI