TEMPO.CO, Melbourne - Australia meminta warganya meninggalkan Kota Benghazi, Libya, demi menghindari dampak buruk akibat konflik di Mali yang melibatkan negara Barat, Prancis.
Permintaan tesebut disampaikan pada, Jumat, 25 Januari, 2013, setelah Inggris, Jerman, dan Belanda, mengeluarkan seruan serupa. Negara-negara itu meminta seluruh warga negaranya meninggalkan negeri yang pernah dipimpin bekas diktator Kolonel Muammar Qadhafi.
"Seluruh warga Australia di Benghazi harus segera meninggalkan kota itu. Ada risiko serangan terhadap Barat di Libya, menyusul intervensi Prancis dalam konflik di Mali, Januari 2013," demikian dituliskan dalam pernyataan pers kementerian luar negeri Australia.
Perintah tersebut disampaikan sehari setelah Inggris memperingatkan warganya terkait pengumuman pemerintah Libya yang menyebutkan tidak ada laporan intelijen terbaru menyangkut kondisi di kota sebelah timur Libya.
"Kami saat ini memberikan perhatian khusus atas ancaman yang ditujukan kepada warga Barat di Benghazi. Kami juga menyerukan kepada warga Inggris agar segera meninggalkan kota itu," demikian dinyatakan dalam pernyataan pers Kementerian Luar Negeri Inggris, Kamis, 24 Januari 2013.
Peringatan dari Inggris datang beberapa jam setelah Perdana Menteri David Cameron mengeluarkan peringatan bahwa serangan mematikan pekan lalu di kompleks perusahaan gas di Aljazair merupakan salah satu bagian terhadap apa yang disebut dengan "perjuangan panjang melawan pembunuhan kaum teroris di seluruh dunia."
Wakil Menteri Luar Negeri Libya, Abdullah Massoud, menyatakan terkejut atas peringatan yang disampaikan oleh negara-negara Barat tersebut. "Tripoli akan menuntut dan meminta penjelasan," ujarnya.
Benghazi adalah pusat perjuangan kaum pemberontak ketika memulai perlawanan untuk menjatuhkan Muammar Qadhafi pada 2011. Pada September tahun lalu, Duta Besar Amerika Serikat untuk Libya, tewas terbunuh di kota pelabuhan ini.
AL JAZEERA | CHOIRUL