TEMPO.CO , Mogadishu - Sebuah bom mobil meledak di ibu kota Somalia, Mogadishu, Senin, 16 Juli 2012, menewaskan bekas Menteri Urusan Kemanusiaan dan Perdagangan Mohamud Abdi Ibrahim serta melukai enam lainnya. Demikian keterangan resmi pemerintah kepada media, Senin waktu setempat.
Dalam serangan bom tersebut kelompok bersenjata Somalia, al-Shabab, mengaku bertanggung jawab. Mereka juga mengklaim ledakan itu sengaja ditujukan untuk membunuh Mohamud Abdi Ibrahim yang saat ini menjadi anggota parlemen.
"Bom mobil meledak ketika sedang disopiri sendiri oleh anggota parlemen. Dia tak mengetahui bahwa di dalam mobil ada bom," kata Wakil Wali Kota Mogadishu, Warsame Mohamed, kepada wartawan, Senin, 16 Juli 2012.
"Anggota parlemen tewas. Daging dan dokumen yang dibawanya berhamburan di dalam mobil," tutur Mohamed menjelaskan mengenai kondisi Ibrahim yang juga bekas seorang Menteri Urusan Kemanusiaan dan Perdagangan.
Sejumlah sumber mengatakan kepada Al Jazeera, ledakan terjadi bersamaan ketika kunci mobil dinyalakan oleh korban. Koresponden Al Jazeera, Nazanine Moshiri, melaporkan dari Mogadishu, "Kami mendengar suara ledakan cukup keras. Apa yang kami lihat adalah sebuah mobil dalam kondisi berantakan akibat ledakan. Sekarang kami baru mengerti ada bom di dalam mobil. Ledakan terjadi di sebuah distrik di jantung Kota Mogadishu sekitar 800 meter dari Villa Somalia dan perkantoran pemerintah. Presiden Somalia, saat ledakan terjadi, sedang berada di Villa," ujar Moshiri.
Kolonel Polisi Ali Mohamed mengatakan, "Pengendara mobil tewas dan enam warga sipil yang sedang berjalan kaki di dekat mobil terluka. Beberapa di antaranya luka serius."
Sheikh Abdiasis Abu Musab, juru bicara operasi militer al-Shabab, berujar, "Target serangan kami adalah anggota parlemen dan berhasil menewaskannya. Kami memang sengaja menempatkan sebuah bom di dalam mobilnya. Pejabat-pejabat pemerintah dan yang bekerja dengannya adalah orang-orang kafir."
Mohamud dikenal dekat dengan Presiden Sheikh Sharif Ahmed. Mereka bahu-membahu berada dalam satu pemerintahan pada 2009 hingga terjadi kesepakatan pembagian kekuasaan di Djibouti. "Ledakan sangat keras," kata Hassan Muhidin, seorang saksi mata. "Bagian depan mobil hancur berantakan," ujar dia. "Saudara perempuan saya yang sedang menjual teh di dekat tempat kejadian luka serius," kata Farhiyo Ahmed, saksi mata lainnya. "Saya melihat sejumlah orang berlumuran darah."
AL JAZEERA | CHOIRUL