TEMPO.CO , Haiti -- Baru empat bulan menjabat, Garry Conille mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri Haiti. "Kami berkomitmen untuk segera mengusulkan seorang perdana menteri baru," kata Presiden Haiti, Michel Martelly, dalam pidatonya di stasiun televisi nasional seperti dikutip dalam laman Reuters, Sabtu 25 Februari 2012.
Keputusannya tersebut diduga akibat pertikaian politik dengan Presiden terkait dengan kontrak pembangunan Haiti kembali usai gempa bumi 2010. Conille juga sedang dalam investigasi parlementer atas kewarganegaraan ganda dari beberapa menteri. Hal ini ilegal berdasarkan hukum Haiti.
Pertikaian politik antara Martelly dan Conille meletus setelah Conille mengumumkan rencana untuk mengaudit kontrak senilai US$ 300 juta yang diberikan oleh Perdana Menteri sebelumnya. "Itu tindakan ofensif ke parlemen dan Presiden," kata Alice Blanchett, penasihat khusus untuk lima mantan perdana menteri Haiti.
Selama kunjungannya ke Haiti, Duta Besar AS untuk PBB, Susan Rice, meminta para pemimpin politik di negara itu untuk menghentikan pertengkaran.
Kedutaan Besar Amerika Serikat di Haiti menyerukan secepatnya mengangkat pengganti Conille. AS mengekspresikan "penyesalan" atas keputusan Conille.
Kepala misi penjaga perdamaian PBB di Haiti, Mariano Fernandez, mengeluarkan rasa keprihatinannya atas kebuntuan politik di negeri itu. "Kondisi yang tidak memungkinkan pemulihan ekonomi dan konsolidasi demokrasi," ujarnya.
Conille, 45 tahun, adalah seorang dokter medis dan pakar pembangunan PBB. Dia terkenal di kalangan para donor bantuan asing dan banyak anggota komunitas internasional dalam usaha-usaha rekonstruksi Haiti setelah gempa bumi menghantam Haiti pada Januari 2010. Dalam bencana itu lebih dari 200 ribu orang meninggal dunia.
Ia sebelumnya bertugas sebagai Kepala Staf Utusan Khusus di Kantor PBB untuk Haiti yang dipimpin mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton.
Dua tahun setelah gempa, lebih dari setengah juta orang masih tinggal di tenda-tenda dan tumpukan beton, baja, dan puing di ibu kota Haiti, Port-au-Prince,
REUTERS | ANANDA PUTRI