TEMPO.CO , Jakarta -Perdana Menteri Papua Nugini Peter O'Neil menyatakan tak pernah berkeinginan menutup kedutaan besar RI di Port Moresby maupun menarik staf diplomatiknya di Jakarta. Pemerintahannya justru mengapresiasi atas jawaban resmi dan cepat pemerintah Indonesia terkait inseden udara antara jet Falcon dan dua pesawat tempur TNI Angkatan Udara pada 29 November 2011.
"Sangat vital bagi Papua Nugini maupun Indonesia meneruskan hubungan diplomatik dan karena penting sekali memperkuat dan memperluas kerja sama bilateral yang sudah saling menguntungkan ini," kata Peter dalam rilis resmi yang diterima Tempo, Senin 9 Januari 2012.
Pemerintah Papua Nugini mengajukan protes diplomatik pada Jumat, 6 Januari 2012 lalu atas insiden yang melibatkan pesawat Falcon di atas udara Indonesia. Penumpang pesawat itu adalah Wakil Perdana Menteri Papua Nuginie Belden Namah.
Sebagai dua negara tetangga yang berteman di kawasan Asia Pasifik, Peter menambahkan, penting bagi Papua Nugini melindungi dan menyokong pondasi hubungan bilateral di atas fondasi solid yang sudah dibangun. Hanya Departemen Luar Negeri dan Perdagangan yang mendapatkan mandat urusan bilateral dengan Indonesia.
Peter mengklarifikasi bahwa pesawat jet Falcon yang digunakan Wakil Perdana Menteri Belden Namah merupakan pesawat carter pribadi, bukan untuk urusan negara. Dengan penjelasan resmi Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalgawa, insiden pencegatan tersebut dianggap sebagai kecelakaan akibat ketidaksesuain izin penerbangan (discrepancy flight clearance authority).
Baca Juga:
Dalam penjelasan resmi Pemerintah Indonesia, pesawat jet Falcon tersebut mengantongi izin melintasi wilayah udara Indonesia pada 3-17 Desember 2011, bukan 29 November 2011, pada hari kejadian. Papua Nugini pun menerima penjelasan pesawat tempur TNI AU hanya mengikuti prosedur indetifikasi virtual sesuai standar penerbangan domestik dan penerbangan internasional.
Papua Nugini menghargai tindakan kedua pesawat tempur Indonesia untuk tidak lagi membayangi pesawat jet Falcon setelah mengetahui pesawat tersebut milik Papua Nugini. "Pemerintah Indonesia juga sedang menyelidiki secara internal apakah ada izin formal untuk jet Falcon tersebut menggunakan wilayah udara Indonesia pada 29 November 2011," dia menambahkan.
Untuk mencegah kejadian terhadap Falcon lainnya, otoritas setempat seperti Air Niugini and Civil Aviation Authority diminta menyelidiki secara internal. "Semua pesawat Papua Nugini harus mengikuti aturan penerbangan sipil internasional," kata dia.
ARYANI KRISTANTI
BERITA TERKAIT
Pesawat PM Papua Nugini Gunakan Izin Terbang India
Jika Papua Nugini Tak Terima, Pemerintah Diminta Putuskan Hubungan Diplomatik
Sikap Perdana Menteri Papua Nugini Dipertanyakan
Cegat Pesawat Papua Nugini, Indonesia Tak Perlu Minta Maaf
Pencegatan Pesawat Pernah Terjadi di Makassar dan Bawean
Panglima: Pencegatan Jet Sesuai dengan Prosedur