Sekitar 75 korban dan para pendukung mereka dari Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa sempat berniat untuk berjalan kaki menuju Vatikan dengan membawa lilin, tapi mereka dihadang oleh pihak kepolisian karena tak memiliki izin.
"Ini tentang tanggung jawab," kata Gary Bergeron, salah satu pengurus kelompok Survivors Voice dalam pidatonya di depan para pengujuk rasa di Castel Sant' Angelo di jantung kota Roma sekitar 500 meter dari Saint Peter's Basilica.
Setelah bernegosiasi dengan polisi, Bergeron dan seorang wanita diizinkan untuk berjalan menuju Vatikan dengan membawa lilin dan masuk ke St Peter's Square sementara para pengunjuk rasa dipaksa menjaga jarak.
Kedua orang itu kemudian meninggalkan 75 surat dari para korban pelecehan seksual yang ditujukan kepada Paus Benedict di salah satu pintu masuk ke Vatikan. Polisi kemudian memfotokopi paspor kedua orang itu sebelum melepaskan mereka.
"Tak ada seorang pun dengan posisi apa pun di bagian mana pun di dunia ini yang status atau posisinya berada di luar jangkauan perlindungan terhadap anak-anak kami atau di luar hukum," kata Bergeron.
Bergeron juga meninggalkan selusin batu kecil di lapangan yang mewakili para korban pelecehan dari berbagai negara.
"Ketika para pria berjubah mengambil tubuh anak-anak untuk kesenangan mereka, ini saatnya melakukan perubahan," tambah Bergeron.
Pengungkapan tentang adanya anak-anak yang jadi korban pelecehan seksual para pendeta dalam beberapa dekade terakhir telah mengguncang pihak gereja tahun ini terutama di Eropa, Amerika Serikat dan Australia.
Para pengunjuk rasa termasuk sekelompok lelaki yang jadi korban pelecehan para pendeta di sekolah khusus tuna rungu di Verona pada tahun 1960-an.
Mereka mengungkapkan semua itu dengan bahasa isyarat melalui seorang penterjemah sambil memegang plakat bertuliskan berbagai kata-kata seperti "Memalukan", "Kami ingin sebuah gereja tanpa pelecehan " dan "Para pendeta paedophile, jangan sentuh anak-anak ".
"Hari ini, saya mengatakan keada setiap pendeta, setiap politisi, setiap pemimpin negara di dunia... bahwa alasan yang berbunyi 'Saya tidak tahu’, 'Anda tak pernah memberiahu saya’ atau 'Saya tak pernah tahu' tak bisa lagi dijadikan pembelaan," tegas Bergeron.
Juru bicara Vatican, Romo Federico Lombardi, keluar untuk berbicara dengan para pengunjuk, tapi ia terpaksa membatalkannya setelah mendapat cemoohan dari masa dan saat pihak media berkumpul. Lombardi kemudian menemui para pemimpin pengunjuk rasa.
Unjuk rasa yang dijuluki "Hari Reformasi " itu sengaja digelar bertepatan dengan hari di mana Martin Luther menggelar revolusi melawan kekuasaan Paus pada 1517 silam.
Dua pendiri Survivors Voice, Bergeron (47 tahun) dan Bernie McDaid (54) merupakan korban pelecehan seorang pendeta di kota yang berbeda di Boston dalam rentang waktu sekitar 7 tahun pada 1960-an saat keduanya masih anak-anak.
"Para pria berjubah ini terus menolak untuk mengaku. Ini bukan gereja yang diajarkan kepada saya," kata McDaid.
Bergeron dan McDaid merupakan putra altar dan mereka dikabarkan mendapat pelecehan dari seoang pendeta yang pernah jadi tersangka pelecehan pada 1962, tapi kemudian ditugaskan dari desa ke desa dan bukan dicabut status kependetaannya.
Bergeron dan McDaid akhirnya bertemu pada 2002 saat keduanya telah dewasa ketika isu pelecahan seks di gereja merebak di Amerika Serikat dengan fokus di Boston.
"Apa yang pernah kami miliki daat kanak-kanak tak akan pernah bisa kami raih kembali," kata Bergeron. "Kami berdiri di sini hari ini sebagai peringatan kepada dunia bahwa apa yang pernah direnggut dari kami, tak pernah lagi boleh direnggut dari anak-anak lainnya. Kami di sini untuk mengatakan: 'Cukup".
REUTERS | A. RIJAL