TEMPO.CO, Jakarta - Vladimir Putin menang telak dalam pemilihan presiden Rusia yang digelar akhir pekan dan awal pekan ini waktu setempat. Menurut perhitungan suara sementara, via exit poll, Putin meraih 87,8 persen suara. Angka itu yang tertinggi dalam sejarah Rusia setelah Uni Soviet runtuh.
Hasil yang didapat Putin menunjukkan bahwa Putin akan kembali menjadi Presiden Rusia enam tahun mendatang, yang membuatnya menjadi pemimpin terlama Rusia selama lebih dari 200 tahun, menyalip Josef Stalin. Mantan letnan kolonel KGB yang berusia 71 tahun ini, pertama kali menjabat pada 1999.
Dalam wawancara dengan DW, pakar Eropa Timur, Hans-Henning Schroder, mengatakan bahwa rezim Putin telah mengalami kestabilan pascakrisis pada tahun 2023. Saat itu, Kremlin menghadapi pemberontakan dari Yevgeny Prigozhin, pemimpin Grup Wagner, sebuah milisi swasta yang mengabdi kepada Rusia. Namun, sosok Prigozhin kemudian dilaporkan tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat.
Usai kejadian itu, Putin kemudian terlihat dalam aktivitas-aktivitas publik yang dimaksudkan untuk memberi isyarat bahwa "dia tetap memegang kendali,” jelas Schroder.
Menurut para pakar, rezim Putin bisa tetap berkuasa karena berbagai alasan, salah satunya karena stabilitas ekonomi Rusia meski dihantam berbagai sanksi Barat. Selain itu, siapa pun yang menentang perang Rusia melawan Ukraina akan menghadapi penindasan besar-besaran. Semua ini memungkinkan Kremlin untuk terus berkuasa seperti sebelumnya.
"Apa yang sudah kita lihat adalah Putin akan terus mengobarkan perang [melawan Ukraina], dengan intensitas yang tidak berkurang, namun mungkin justru akan meningkatkan pertempuran,” kata Regina Heller kepada DW.
Arah Kebijakan Putin
Dalam wawancara dengan DW, Heller mengatakan bahwa banyak warga Rusia akan melihat mobilisasi tentara wajib militer yang baru. Menurutnya, hal ini dipandang sebagai skenario yang realistis, karena Putin tidak mengurangi retorika militernya.
"Kita dapat melihat bahwa dukungan Barat terhadap Ukraina tidak sekuat yang seharusnya, yang dari sudut pandang Kremlin, memberikan peluang untuk mengubah keseimbangan yang menguntungkan bagi mereka melalui mobilisasi massa yang baru,” kata Heller.
Meski begitu, upaya mobilisasi baru ini menurut Heller kemungkinan bisa berbahaya karena ada kelelahan perang yang besar di kalangan warga Rusia. Mangott mengamini hal ini dengan mengutip survei yang menunjukkan bahwa mobilisasi besar-besaran tidak mungkin dilakukan.
Kalau menurut Schroder, apakah akan ada mobilisasi baru atau tidak, tergantung pada rencana Rusia untuk Ukraina dalam beberapa bulan mendatang.
"Jika mereka ingin melakukan serangan dan mengalahkan Ukraina, mereka harus meningkatkan angkatan bersenjata mereka untuk menang dan mengendalikan negara,” katanya.
Meski begitu, Schroder beranggapan bahwa Rusia kemungkinan hanya berusaha terlihat sukses saja. "Kesan saya adalah bahwa sampai pemilihan presiden AS, hal ini dilakukan hanya sebagai upaya untuk mempertahankan keunggulan dan memberikan kesan keseluruhan di dalam dan luar negeri bahwa mereka berada di jalur kemanangan,” jelasnya.
Schroder menilai situasi Ukraina akan semakin buruk jika Presiden AS Joe Biden kalah dari Donald Trump pada pemilu Amerika Serikat (AS) tahun ini. Menurut Schroder, jika hal itu terjadi, Rusia kemungkinan tidak perlu mengerahkan tentara tambahan dalam upaya mobilisasi besar-besaran.
DIMAS KUSWANTORO | DW | ANANDA RIDHO SULISTYA
Pilihan editor: Pasca Kemenangan Pilpres Putin Dikabarkan Kunjungi Cina Pada Mei