TEMPO.CO, Jakarta - Pada kuartal terakhir 2022, perekonomian Eropa diproyeksikan akan sangat terpukul oleh krisis energi yang dipicu oleh perang Rusia-Ukraina. Menurut International Monetary Fund (IMF), setengah dari 19 negara pengguna mata uang euro (biasa disebut eurozone) kemungkinan besar segera menuju resesi.
Menurut Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva yang dilansir dari euronews.com, Eropa telah menyelesaikan pertumbuhan global lebih dari 6 persen setelah pulih dari Covid-19. Namun, dua hal tak terduga memutar balik keadaan: Omicron dan perang. Eropa lantas terkena dampak yang lebih parah oleh kenaikan harga energi.
Resesi umumnya didefinisikan sebagai pertumbuhan negatif Produk Domestik Bruto (PDB) selama dua kuartal berturut-turut. Sebagai gambaran seberapa signifikan ancaman resesi di Eropa, Georgieva mengungkap bahwa proyeksi sebelum dan sesudah pandemi selisih sekitar 500 miliar euro. Kerugian yang dialami orang-orang Eropa sangat dramatis.
Namun, pendapat kedua menyatakan Eropa mungkin bakal lolos dari resesi 2023 setelah banyak malapetaka, terutama akibat perang Rusia-Ukraina. Melansir dari firstpost.com, prediksi ini datang ketika survei menunjukkan ekonomi Eropa mulai tumbuh pada tingkat inflasi yang lebih rendah, rantai pasokan yang lebih baik, serta pembukaan kembali ekonomi China pasca-pandemi.
Indeks manajer pembelian (purchasing managers’ index atau PMI) S&P Global Flash Eurozone naik dari 49,3 pada Desember 2022 ke 50,2 pada Januari 2023 dari. Walau demikian, kenaikan PMI ini tidak terjadi pada semua negara.
Indeks Britania Raya (Inggris) justru turun menjadi 47,8 dari 49. Angka PMI yang lemah menggarisbawahi risiko negara itu tergelincir ke dalam resesi. Perselisihan industri, kekurangan staf, kerugian ekspor, meningkatnya biaya hidup, hingga suku bunga tinggi merepresentasikan laju ekonomi yang kembali merosot di awal tahun.
Menurut para ahli, bukan hanya faktor jangka pendek yang bertanggung jawab atas kesuraman tersebut, tetapi juga bencana ekonomi yang berkelanjutan dari masalah struktural jangka panjang seperti kekurangan tenaga kerja dan kesengsaraan perdagangan terkait dengan Brexit (keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa).
Ekonomi Inggris pada 2023 diperingatkan menyusut hampir sama dengan Rusia dengan nilai PDB jauh di antara negara-negara G10. Kontraksi PDB Rusia yakni sebesar 1,3 persen, sedangkan Inggris mencapai 1,2 persen—hanya berbeda 0,1 persen.
Sementara itu, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) juga memperkirakan bahwa Inggris bakal “tertinggal secara signifikan” di tahun-tahun mendatang dibanding negara maju lainnya.
Per April 2023, pertumbuhan PDB riil Inggris tercatat -0,3 persen berdasarkan data IMF. Negara-negara Eropa lain dengan pertumbuhan PDB negatif mencakup: Swedia (-0,5 persen), Jerman (-0,1 persen), Republik Ceko (-0,5 persen), Estonia (-1,2 persen), Lithuania (-0,3 persen), serta Ukraina (-3 persen).
Jika PDB mereka tidak segera tumbuh positif, ancaman resesi yang menghantui benar-benar akan menjadi kenyataan.
Pilihan editor: Resesi Eropa Sudah Dimulai, Ini Penyebab Kondisi Terkini
SYAHDI MUHARRAM