TEMPO.CO, Jakarta - Peristiwa Lapangan Tiananmen, juga dikenal sebagai Insiden Keempat Juni atau 6/4, adalah serangkaian protes dan demonstrasi di Tiongkok pada musim semi tahun 1989 yang mencapai puncaknya pada malam 3-4 Juni dengan tindakan keras pemerintah terhadap para demonstran di Lapangan Tiananmen, Beijing.
Dilansir Britannica, meskipun demonstrasi dan penindasan berikutnya terjadi di berbagai kota di seluruh negara, peristiwa-peristiwa di Beijing—terutama di Lapangan Tiananmen, yang secara historis terkait dengan protes-protes lain seperti Gerakan Keempat Mei (1919)—menjadi simbol dari seluruh peristiwa tersebut.
Awal mula
Tragedi ini dapat ditarik mulai dari musim semi tahun 1989 ketika sentimen yang semakin meningkat di kalangan mahasiswa dan masyarakat di Tiongkok untuk melakukan reformasi politik dan ekonomi. Tiongkok saat itu telah mengalami satu dekade pertumbuhan ekonomi dan liberalisasi yang luar biasa, dan banyak warga Tiongkok yang telah terpapar dengan gagasan dan standar kehidupan dari luar negeri.
Selain itu, meskipun kemajuan ekonomi di Tiongkok telah membawa kemakmuran baru bagi banyak warga, hal itu juga disertai dengan inflasi harga dan peluang korupsi oleh pejabat pemerintah. Pada pertengahan tahun 1980-an, pemerintah pusat telah mendorong beberapa orang (terutama ilmuwan dan intelektual) untuk mengambil peran politik yang lebih aktif, namun demonstrasi yang dipimpin oleh mahasiswa yang menuntut lebih banyak hak individu dan kebebasan pada akhir tahun 1986 dan awal tahun 1987 menyebabkan pihak garis keras dalam pemerintah dan Partai Komunis Tiongkok (PKT) menekan apa yang mereka sebut sebagai "liberalisme borjuis."
Salah satu korban dari sikap yang lebih keras ini adalah Hu Yaobang, yang telah menjadi sekretaris jenderal PKT sejak tahun 1980 dan yang telah mendorong reformasi demokratis; pada Januari 1987, ia dipaksa untuk mengundurkan diri dari jabatannya.