TEMPO.CO, Jakarta - Serangan udara dan ledakan menghantam ibu kota Sudan, Rabu, 19 April 2023, setelah kegagalan gencatan senjata yang ditengahi AS antara tentara dan pasukan paramiliter, memaksa penduduk untuk tetap merunduk dan mendorong Jepang bersiap untuk mengevakuasi warganya.
Pengeboman terus-menerus dan ledakan keras dapat terdengar di Khartoum tengah di daerah sekitar kompleks kementerian pertahanan dan bandara, yang diperebutkan dengan sengit dan dihentikan sejak pertempuran meletus pada akhir pekan.
Asap tebal membumbung ke langit.
Kekuatan asing termasuk Amerika Serikat telah mendorong gencatan senjata antara tentara dan Rapid Support Forces (RSF) paramiliter untuk memungkinkan penduduk yang terjebak oleh pertempuran mendapatkan bantuan dan pasokan yang sangat dibutuhkan.
Sedikitnya 270 orang tewas dan 2.600 terluka dalam pertempuran itu, kata Organisasi Kesehatan Dunia, mengutip kementerian kesehatan Sudan.
Kedua pihak sepakat untuk gencatan senjata dari pukul 18.00 waktu setempat pada Selasa tetapi tembakan terus berlanjut dan militer Sudan serta milisi RSF mengeluarkan pernyataan yang menuduh satu sama lain gagal menghormati gencatan senjata.
Komando tinggi angkatan darat mengatakan operasinya sedang berlangsung untuk mengamankan ibu kota dan wilayah lain.
Seorang warga di tepi timur Khartoum mengatakan pertempuran sengit berlanjut pada Rabu pagi setelah serangan udara dan hantaman artileri di dekat rumahnya pada Selasa.
"Kami tidak dapat tidur, waktu-waktu yang senyap hanya dari pukul 3 hingga 5 pagi,” katanya.
Kepala Sekretaris Kabinet Jepang mengatakan pemerintahannya berencana untuk menggunakan sebuah pesawat dari Pasukan Pertahanan Dirinya untuk mengevakuasi sekitar 60 warga Jepang yang saat ini berada di Sudan, berkoordinasi dengan negara-negara besar lainnya.
Sejak Sabtu pagi, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, pertempuran sengit berkecamuk di seluruh ibu kota Sudan, kota metropolis besar berpenduduk sekitar 5,5 juta orang, dengan jutaan lainnya tinggal di kota kembar Omdurman dan Bahri yang terletak di seberang Sungai Nil Putih dan Biru.
Pertempuran telah merusak rencana terakhir yang didukung secara internasional untuk sebuah transisi menjadi sebuah demokrasi sipil, empat tahun setelah kejatuhan otokrat Islamis Omar al-Bashir dan dua tahuns etelah kudeta militer.
Kekerasan berisiko menarik aktor dari lingkungan Sudan yang telah mendukung faksi yang berbeda, dan juga dapat menjadi persaingan antara Rusia dan Amerika Serikat untuk mendapatkan pengaruh regional.