TEMPO.CO, Jakarta - Ancaman sanksi dan isolir dari berbagai negara belum berhasil membuat Militer Myanmar menghentikan kudetanya. Utusan khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, mengaku sempat berbicara dengan perwakilan junta soal apa konsekuensi yang bakal dihadapi mereka. Mengejutkannya, kata Burgener, Militer Myanmar tidak menunjukkan rasa takut sedikitpun.
"Mereka menyatakan sudah terbiasa dengan sanksi dan selalu bisa bertahan," ujar Burgener, dikutip dari Channel News Asia, Kamis, 4 Maret 2021.
Burgener menambahkan, dirinya pun sudah memperingatkan bahwa komunitas internasional bisa saja mengucilkan Myanmar ke depannya. Lagi-lagi, kata ia, Myanmar tetap bertahan pada keputusannya untuk melanjutkan kudeta dan mengakhirinya ketika pemilu baru sudah digelar.
"Ketika saya memperingatkan soal kemungkinan Myanmar diisolir dari komunitas internasional, mereka menjawab lebih baik bertahan dengan sedikit teman," ujar Burgener menjelaskan respon Militer Myanmar.
Menanggapi sikap Militer Myanmar yang tidak berubah plus 50 orang yang tewas selama kudeta berlangsung, Dewan Keamanan PBB akan membahasnya pada Jumat ini. Adapun pertemuan bakal bersifat tertutup.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika, Ned Price, mengaku terheran-heran dengan sikap Militer Myanmar. Padahal, berbagai sanksi sudah diberikan, belum menghitung sanksi serupa dari Kanada, Inggris dan Uni Eropa. Oleh karenanya, kata ia, Amerika akan mengevaluasi bagaimana sebaikanya menghadapi krisis di Myanmar.
Para pengunjuk rasa berlindung ketika petugas polisi anti huru hara menembakkan tabung gas air mata selama unjuk rasa menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar, 27 Februari 2021. Polisi Myanmar menembaki pengunjuk rasa pada hari Minggu di hari paling berdarah dalam berminggu-minggu demonstrasi menentang kudeta militer. [REUTERS / Stringer]
Ned Price menambahkan, pihaknya sudah menghubungi Cina juga untuk berperan konstruktif dalam penyelesaian krisis Myanmar. Namun, kata ia, Cina menolak permintaan itu ataupun mengecam kudeta Myanmar.
Menurut laporan Channel News Asia, Cina bahkan tidak menyebutkan apa yang terjadi di Myanmar sebagai kudeta. Media milik pemerintah di Cina memilih untuk menyebut apa yang terjadi di Myanmar sebagai "reshuffle kabinet besar-besaran".
Sebagai catatan, Cina sempat memveto resolusi DK PBB terkait pembantaian etnis Rohingya di Myanmar. Mereka menyebut situasi di Myanmar sebagai konflik internal dan tidak pantas negara lain ikut campur.
Sikap Cina itu membuat berbagai pihak waspada mereka mencoba memperkuat pengaruh di tengah kudeta Myanmar. Jika hubungan Cina dan Myanmar kian erat, beberapa negara khawatir hal itu akan memperkuat pengaruh Cina di Asia Tenggara. Sebagaimana diketahui, Cina mencoba mengklaim Laut Cina Selatan sebagai miliknya.
Diberitakan sebelumnya, kudeta Myanmar sudah berlangsung hampir sebulan lebih. Semakin hari, situasi di Myanmar semakin berbahaya dengan personil militer mulai dilibatkan dan diizinkan menggunakan senjata api untuk melawan pemberontakan warga. Imbasnya, banyak warga ditangkap atau dibunuh oleh Militer Myanmar.
Menurut laporan PBB, pada unjuk rasa Rabu lalu, 38 orang tewas ditembak Militer Myanmar. Hal itu menjadikan total korban jiwa selama kudeta berlangsung 50 orang. Sementara itu, untuk orang yang ditangkap, jumlahnya sudah mencapai 500 lebih menurut Asosiasi Bantuan Hukum untuk Tahanan Politik.
Baca juga: PBB: 50 Orang Tewas Sejak Kudeta Myanmar Dimulai
ISTMAN MP | CHANNEL NEWS ASIA