TEMPO.CO, Jakarta - Kepala HAM PBB Michelle Bachelet pada Rabu, 12 Agustus 2020, mengutuk pecahnya kekerasan yang diduga dilakukan otoritas Belarusia terhadap demonstran. Bentrokan terjadi setelah Presiden Belarusia Alexander Lukashenko mengklaim menang pemilu, namun para oposisi menyebut pemilu itu sudah dicurangi.
Bachelet mengatakan kepolisian dilaporkan telah menggunakan kekuatan berlebihan saat bentrok dengan para demonstran dalam unjuk rasa yang terjaid selama tiga malam. Mereka melepaskan peluru karet, menggunakan meriam air dan melemparkan granat setrum. Ribuan orang dalam aksi protes tersebut juga ditahan.
“Saya mengingatkan otoritas Belarusia bahwa penggunaan kekuatan militer dalam berbagai aksi protes seharusnya menjadi pengecualian dan langkah terakhir. Jelas ada bedanya antara kekerasan individu dan unjuk rasa damai, di mana kekerasan seharusnya tidak digunakan,” kata Bachelet, dalam keterangan tertulis, seperti dikutip dari aljazeera.com.
#Belarus: UN Human Rights Chief @mbachelet condemns the violent response of the Belarusian authorities to the peaceful demonstrations held across the country in the aftermath of the presidential election and calls for people’s grievances to be heard https://t.co/wKz0s2LgvM pic.twitter.com/cQSiWwZZWy
— UN Human Rights (@UNHumanRights) August 12, 2020
Pernyataan Bachelet dilontarkan setelah ratusan perempuan melakukan aksi jalan di Ibu Kota Belarusia Minsk untuk mengutuk kekerasan terhadap demonstran. Mereka membawa bunga dan meneriakkan slogan protes.
“Kami tidak mau suami, kakak dan putra-putra kami mati. Kami di sini demi Belarusia yang damai dan pemilu yang adil,” teriak demonstran.
Seorang demonstran, Denis, menceritakan sekitar enam aparat polisi anti-huru-hara mendatanginya dan mulai memukulinya. Ketika dia merampas salah satu tongkat aparat, mereka menjadi lebih beringas dan menyemprotkan sesuatu ke wajahnya hingga membuatnya terasa sangat panas. Saat Denis meminta bantuan medis, kepolisian anti-huru-hara tak menggubrisnya.