TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas menyebut pemeluk Yahudi di negaranya merasa terancam sehingga hampir setengahnya berpikir tentang emigrasi. Kondisi ini menuntut tanggapan yang lebih keras terhadap anti-Semitisme, tidak hanya di Jerman tetapi juga di seluruh Uni Eropa.
Maas dalam tulisannya yang dipublikasi majalah mingguan Jerman Der Spiegel menyebut, umat Yahudi di Jerman secara terbuka diserang di jalan-jalan dan menghadapi ancaman serta pelecehan online hampir setiap hari. Tulisan Maas itu terkait peringatan 75 tahun pembebasan kamp kematian Nazi di Auschwitz, Polandia. Maas mengatakan ada lebih dari 400 insiden anti-Semitic yang terjadi di Ibu Kota Berlin saja selama enam bulan pada 2019.
"Tidak mengherankan hampir setiap orang Yahudi di Jerman sudah berpikir untuk meninggalkan negara ini," tulis Maas.
Menteri Maas secara khusus menyebutkan serangan penembakan di kota Halle, Jerman timur pada Oktober 2019, ketika seorang ekstrimis sayap kanan berusaha menyerang sebuah sinagog lokal tetapi akhirnya gagal dan malah masuk ke dalam gedung, alih-alih membunuh dua orang secara acak.
Maas mengecam anti-Semitisme sebagai mimpi buruk absolut dan aib mengerikan 75 tahun setelah pembebasan kamp pembantaian Auschwitz. Anti-Semitisme adalah masalah di seluruh Eropa yang membutuhkan upaya semua anggota Uni Eropa untuk diselesaikan.
Baca Juga:
Menteri Maas mengatakan langkah-langkah yang direncanakan Jerman untuk diperjuangkan selama masa kepresidenannya di Dewan Uni Eropa dan Dewan Eropa akan mencakup penciptaan jaringan anti-Semitisme Eropa, komisaris dan tindakan keras terhadap kejahatan rasial dan disinformasi online.
Dia juga secara khusus menyebutkan Berlin berencana memastikan semua negara anggota Uni Eropa menjadikan anti-Semitisme sebagai kejahatan demi mencegah berulangnya Holocaust. Jerman juga akan membantu membentuk Satuan Tugas Global Menentang Penolakan Holocaust.
Masalah anti-Semitisme sekali lagi muncul di Jerman pada musim semi 2019. Ketika itu, kepala anti-Semitisme Jerman menyarankan pemeluk Yahudi tidak mengenakan kippah dimana pun mereka berada selama di Jerman. Kabarnya, saran itu karena kepala anti-Semitisme tersebut khawatir akan keselamatan mereka. Pendekatan itu dengan cepat dicap kalah oleh berbagai politisi, termasuk Presiden Israel Reuven Rivlin.
Hanya beberapa hari setelah pernyataan provokatif pejabat itu, Kanselir Jerman Angela Merkel mengatakan secara harfiah setiap fasilitas Yahudi di Jerman membutuhkan perlindungan polisi. Beberapa analis percaya bahwa Merkel sendiri memiliki kebijakan imigrasi pintu terbuka yang terlalu longgar, yang memungkinkan sekitar satu juta pengungsi dan migran dari Timur Tengah dan Afrika Utara untuk datang ke negara itu selama krisis pengungsi, dan hal ini mungkin berpengaruh.
Galuh Kurnia Ramadhani | rt.com