TEMPO.CO, Hong Kong – Pengunjuk rasa di Hong Kong melakukan parade memprotes pedagang asal Cina, yang berjualan di Kota Sheung Shui di dekat perbatasan kedua wilayah.
Baca juga: Media Cina Tuding Barat Dukung Unjuk Rasa Hong Kong
Mereka adalah pengunjuk rasa yang mengusung isu penolakan RUU Ekstradisi dan telah berlansung sejak bulan lalu.
Unjuk rasa yang berbatasan dengan Kota Shenzen, Cina, ini awalnya berlangsung damai namun berakhir dengan bentrokan antara pengunjuk rasa dan polisi.
“Pemrotes melemparkan payung dan topi ke arah polisi, yang membalas dengan pukulan tongkat dan semprotan lada,” begitu dilansir Channel News Asia pada Sabtu, 13 Juli 2019.
Baca juga: Peyanyi Pop Hong Kong Kritik Cina di Forum Dewan HAM PBB
Unjuk rasa rusuh ini berlangsung sampai malam hari. Polisi Hong Kong lalu mulai melakukan sweeping pada sekitar pukul 8.30 malam dan membuat pengunjuk rasa menyebar meninggalkan jalan raya.
Polisi Hong Kong mengecam para pengunjuk rasa yang dituding sengaja bertindak anarkis dan menyerang petugas. “Tindakan ilegal dan brutal akan diinvestigasi serta dituntut ke pengadilan,” begitu pernyataan polisi.
Sejumlah pengunjuk rasa terluka dalam bentrokan ini dan foto-fotnya beredar di sosial media.
Penyanyi pop Denise Ho mengunggah di Twitter foto seorang pengunjuk rasa yang jatuh setelah dipukuli oleh delapan polisi.
Baca juga: 1 Juta Warga Hong Kong Demo Tolak RUU Ekstradisi Cina
Foto itu menunjukkan kepala pengunjuk rasa itu terluka dan darah keluar dari mulutnya.
“Polisi anehnya menaruh helm di wajah pengunjuk rasa itu dan mengklaim itu agar dia bisa telentang dengan luruh,” cuit Denise lewat akun @hoocgoomusic.
Unjuk rasa pada Sabtu kemarin merupakan lanjutan dari sejumlah unjuk rasa sejak Juni untuk menolak pengesahan legislasi ekstradisi. Rencana amandemen itu memungkinkan pemerintah dan otoritas hukum Hong Kong untuk mengizinkan ekstradisi warga ke sejumlah negara termasuk Cina jika dianggap melanggar hukum di negara lain meski tidak ada kerja sama yurisdiksi.
Hong Kong dan Cina menganut asas satu negara dua sistem karena Hong Kong berbasis Demokrasi dan Cina berbasis komunis satu partai.
Unjuk rasa besar-besaran menolak legislasi ini merupakan yang terbesar sejak Inggris mengembalikan Hong Kong ke Cina pada 1997.
Baca juga: Asosiasi Jurnalis Hong Kong Tolak RUU Ekstradisi ke Cina
Reuters melansir pemerintah Inggris meminta pemerintah Hong Kong untuk mengusut kerusuhan saat unjuk rasa pada pertengahan Juni 2018. Inggris menghentikan semua penjualan peralatan anti-huru hara ke Hong Kong hingga investigasi dilakukan dan pelaku tindak kekerasan diadili.
Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, mengatakan rencana amandemen itu telah padam karena kerasnya penolakan publik, yang mengusung semangat demokrasi. Namun, dia belum secara resmi menarik proposal amandemen itu dari daftar pembahasan di Dewan Legislatif.