TEMPO.CO, Jakarta - Pemenang pemilihan umum Irak, Aliansi Sairoon pimpinan ulama Syiah Muqtada Al-Sadr, kebanjiran dukungan berkoalisi. Al-Fattah, peraih urutan kedua dalam perolehan kursi parlemen hasil pemilu, melakukan perundingan dengan Sadr untuk membentuk pemerintahan koalisi di Irak.
Ajakan koalisi sebelumnya dilakukan oleh Perdana Menteri Haider Al-Abadi setelah partai yang dia pimpin menduduki posisi ketiga.
Baca: Menang Pemilu Irak, Muqtada al-Sadr Tak Bisa Jadi Perdana Menteri
Muqtada Al-Sadr, kiri, berjabat tangan dengan pemimpin Syiah Ammar Al-Hakim di Bagdad. (AP Photo)
Arab News dalam laporannya mengatakan, para pemimpin Al-Fattah memiliki potensi besar menjabat sebagai Perdana Menteri Irak karena Sadr tak bisa menduduki jabatan tersebut lantaran tak ikut pemilu.
Ahmed Assadi, juru bicara Al-Fattah dan salah satu pemimpin partai, mengatakan, negosiasi masih terus berlangsung dengan Sairoon, aliansi pimpinan Sadr menduduki posisi pertama dengan perolehan 54 kursi.Ulama Syiah Irak Moqtada al-Sadr (kiri) berbicara saat konferensi pers dengan Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi di Baghdad, Irak 20 Mei 2018. Iraqi Prime Minister Media Office/Handout via REUTERS
"Tidak ada cara lain membentuk pemerintahan tanpa menyertakan salah satu di antara mereka," kaa Al-Assidi seperti dikutip Arab News.
Dia melanjutkan, "Fattah dan Sairoon di antara aliansi terbesar yang memenangkan pemilihan umum, mendapatkan dukungan di jalan-jalan dan kawasan. Oleh karena itu tidak ada alasan mengabaikan mereka."
Baca: Pemilu Irak, Koalisi Syiah dan Komunis Menang
Pada pemilihan umum yang digelar pekan lalu, aliansi Al-Fattah yang memiliki laporan keuangan terbuka dan mendapatkan dukungan Iran, memperoleh 47 kursi yang di dalam termasuk 22 kursi untuk Organisasi Badr, salah satu kelompok bersenjata Syiah Irak dan 17 kursi dimenangkan oleh Asa'ib Ahl al-Haq. Hubungan antara Al-Sadr dan para pemimpin Fattah sempat meningga setelah ulama ini menuduh faksi Fattah membawa agenda Iran ke dalam negeri Irak.