TEMPO.CO, Chicago – Pengamat hubungan internasional, dari President University, Cikarang, Dr Hoppi Yoon, mengatakan pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un, menginginkan adanya jaminan keamanan dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, untuk kelangsungan rezimnya.
Hoppi mengatakan ini salah satu penyebab mengapa Kim memprotes latihan perang Max Thunder, yang digelar Amerika Serikat dan Korea Selatan, baru-baru ini. Rezim Korea Utara itu juga menghentikan proses pembicaraan bilateral perdamaian dengan Korea Selatan menyusul protes itu.
Baca: Trump Salahkan Cina atas Ancaman Korea Utara Batalkan KTT
“Kim hanya ingin Trump menjamin kelangsungan rezimnya di tengah-tengah proses negosiasi yang masih berlangsung,” kata Hoppi, yang sedang berada di Chicago, kepada Tempo lewat aplikasi WhatsApp, Kamis, 17 Mei 2018.
Menurut Hoppi, Kim mengirim pesan kepada Trump. “Jika Anda ingin sukses dalam pertemuan dengan saya, jangan tawarkan saya solusi neokonservatif.”
Seperti diberitakan, Presiden AS, Donald Trump, dan Kim bakal menggelar pertemuan puncak pada 12 Juni 2018 untuk mengakhiri ketegangan di Semenanjung Korea. Pertemuan yang akan digelar di Singapura ini akan membahas proses denuklirisasi senjata nuklir Korea Utara.
Baca: Trump Pastikan Model Libya Tak Dilakukan di Korea Utara
Sebelumnya, Korea Utara dan Korea Selatan telah menandatangani kesepakatan perdamaian dalam Deklarasi Panmunjom, yang diteken pada akhir April 2018 di desa Panmunjom, Zona Demiliterisasi, di Korea Selatan.
Menurut Hoppi Yoon, yang merupakan pengamat asal Amerika Serikat dan keturunan Korea, tindakan Kim yang tiba-tiba memutuskan proses pembicaraan damai juga untuk menyasar penasehat keamanan nasional Trump, yaitu John Bolton.
Ini karena Bolton, yang dianggap bagian dari pemikir neo-konservatif, menggagas opsi Libya, yang dianggap mengancam kelangsungan rezim Kim Jong Un. Opsi ini berarti rezim Kim Jong Un bisa diturunkan meskipun perjanjian denuklirisasi senjata nuklir tercapai dengan AS.
CNN melansir pemimpin Libya, Moammar Gadhafi, sepakat untuk meninggalkan rencananya mengembangkan senjata nuklir sebagai imbalan pencabutan sanksi ekonomi, yang membuat negara itu bangkrut, pada awal 2000. “Dalam beberapa tahun, Gadhafi dijatuhkan dan dibunuh oleh pasukan pemberontak dukungan Washington,” begitu dilansir CNN.
Mengenai ini, Trump mengatakan akan melindungi rezim Kim Jong Un jika proses perundingan damai tetap berlangsung pada 12 Juni 2018. “Negaranya akan sangat kuat,” kata Trump seperti dilansir Korea Times, 18 Mei 2018.
Menurut Hoppi, Trump sangat menginginkan pertemuan puncak kedua negara bisa berlangsung sesuai jadwal dan berakhir dengan sukses. “Itu sebabnya, Gedung Putih mengatakan mempertimbangkan opsi Trump dan bukannya opsi Libya,” kata Hoppi. “Ini karena solusi Bolton tidak menjamin keamanan rezim Kim Jong Un.. Hanya fokus pada denuklirisasi.”
Menurut Hoppi, ada dua kelompok yang berpotensi menghambat berlangsungnya proses perdamaian AS dan Korea Utara. “Kelompok ekstrim kanan dan ekstrim nasionalis di AS dan Korea Selatan,” kata Hoppi. “Dan militer garis keras serta elit Partai Buruh di Korea Utara.”
Menurut Hoppi, Trump dan Kim sama-sama membutuhkan terjadinya kesepakatan damai kedua negara.
“Namun, perlu juga diakui ada berbagai hambatan: kelompok ekstrim kanan, neo-konservatif, yang butuh menciptakan ketegangan terus-menerus di Semenanjung Korea untuk memaksimalkan kepentingan. Juga Cina yang ingin menjadi kekuatan hegemoni baru serta Jepang yang cenderung terburu-buru,” kata dia.
Menurut Hoppi, Kim Jong Un tidak begitu mempermasalahkan latihan militer besar-besara militer AS dan Korea Selatan, yang melibatkan 100 jet tempur termasuk pesawat tempur siluman F-22 dan telah berlangsung sejak 2009. Latihan kali ini akan berlangsung pada periode 11 – 25 Mei 2018.
“Tapi saya dengar dari pengamat Korea Selatan ada delapan pesawat F-22 yang terbang melintasi wilayah udara Korea Utara dan ini membuat Kim Jong Un marah,” kata Hoppi. Menurut dia, jika ini benar, maka penerbangan pesawat siluman F-22 melintasi wilayah udara Korea Utara memiliki dua pesan.
Pesan pertama sebagai uji coba kemampuan militer. Dan pesan kedua adalah Korea Utara harus menyerah secara penuh atau akan dihancurkan, yang bernuansa pemerasan.
Menurut Hoppi, setelah pembicaraan damai Trump dan Kim berlangsung di Singapura nanti maka pembicaraan damai lanjutan antara kedua Korea bisa berlangsung lagi. “Saya cukup optimistis,” kata dia.