TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi Kerja sama Negara-negara Islam atau OKI mengatakan perlakuan Myanmar terhadap etnis Muslim Rohingya merupakan pelanggaran hukum internasional yang serius dan menyerukan dukungan internasional dalam menyelesaikan krisis.
Baca: Derita Keluarga 10 Pria Rohingya Tewas Dibunuh Tentara Myanmar
Penegasan itu disampaikan OKI dalam pernyataan bersamamua di akhir konferensi dua hari di Bangladesh, negara yang menjadi rumah penampungan bagi lebih dari 700.000 orang Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan di Myanmar sejak Agustus 2017. OKI juga menegaskan kembali pernyataan lembaga-lembaga internasional sebelumnya yang menyebutkan sedang terjadi pembersihan etnis Rohingya di Myanmar.
Para menteri luar negeri dan diplomat dari 53 anggota OKI membentuk komite kampanye selama dua hari perundingan di ibukota Bangladesh, Dhaka. Sekjen OKI, Yousef bin Ahmed Al-Othaimeen menyebukan pembentukan komite ini sebagai langkah kunci untuk mengakhiri krisis Rohingya.
Para pengungsi Rohingya melintasi pematang sawah setelah melarikan diri dari Myanmar menuju Palang Khali, Bangladesh, 2 November 2017. REUTERS/Hannah McKay
Baca: Fatou Bensouda, Jaksa ICC Selidiki Kekejaman terhadap Rohingya
"Ini sangat penting. Ini adalah salah satu langkah konkrit yang telah diambil untuk meringankan masalah saudara-saudari [Rohingya] kami," katanya, seperti dilansir Daily Sabah pada 7 Mei 2018.
Menteri Luar Negeri Bangladesh A.H. Mahmood Ali mengatakan, para delegasi OKI berjanji untuk terus bekerja sama dengan negaranya dalam menghadapi gelombang besar Rohingya dengan konsekuensi kemanusiaan dan keamanannya.
Pasukan keamanan di Myanmar yang mayoritas beragama Budha melakukan kampanye militer melawan Rohingya pada akhir Agustus 2017 sebagai tanggapan atas serangan kelompok gerilyawan Rohingya. Ribuan orang dinyatakan tewas dalam tindakan keras itu, yang diyakini banyak aktivis HAM adalah upaya untuk mengusir Rohingya dari negara itu.
Baca: Myanmar Melarang Pengungsi Rohingya Kembali, Kenapa...
Rohingya ditolak kewarganegaraannya di Myanmar karena dianggap sebagai imigran gelap dan mencemooh mereka sebagai orang Bengali. Sebagian besar telah lama hidup dalam kemiskinan di negara bagian Rakhine yang berbatasan dengan Bangladesh.
Ratusan ribu Rohingya yang melarikan diri sekarang tinggal di kamp-kamp kumuh di seberang perbatasan di Bangladesh. Myanmar dan Bangladesh telah menandatangani kesepakatan repatriasi atau pemulangan pengungsi Rohingya pada November 2017, tetapi belum ada pengungsi Rohingya yang dipulangkan.