TEMPO.CO, Jakarta - Myanmar pada Selasa, 10 April 2018 menjatuhi hukuman 10 tahun penjara dan kerja paksa bagi 7 tentara yang terbukti bersalah membantai 10 pria Rohingya. Meskipun para tentara itu telah membayar kekejihan yang dilakukannya, namun keluarga yang ditinggalkan tetap merasakan penderitaan yang mendalam ditinggalkan orang-orang yang dicintainya.
Kisah kelam itu bermula ketika pada 1 September 2017, militer Myanmar melakukan operasi di desa pesisir Rohingya, Inn Din di Rakhine utara. Bersama dengan penduduk Budha garis keras, para tentara itu menangkap sebelum menembak serta memutilasi ke 10 pria Rohingya itu dan membuang jasadnya ke lubang.
Tidak ada satupun keluarga korban yang mengetahui nasib mereka hingga akhirnya Reuters melakukan investigasi. 7 bulan setelah peristiwa itu, keluarga para korban ditemukan tim investigasi Reuters di berbagai pelosok kamp pengungsian Bangladesh.
Kepada Reuters perwakilan keluarga dari 10 korban menceritakan tentang kehilangan, cinta dan kelangsungan hidup mereka yang penuh derita dalam beberapa bulan terakhir.
1. Hasina Khatun, 35 tahun, istri dari Dil Mohammed
Hasina Khatun, 35, yang suaminya Dil Mohammed termasuk di antara 10 pria Rohingya yang dibunuh oleh pasukan keamanan Myanmar dan penduduk desa Buddha pada 2 September 2017, berfoto bersama anaknya di kamp Balukhali di Cox's Bazar, Bangladesh, 21 Maret 2018. REUTERS/Mohammad Ponir Hossain
Hasina mengisahkan, setelah militer Myanmar menyerang desanya pada 27 Agustus 2017, mereka buru-buru meninggalkan rumah hanya membawa barang seadanya. Bahkan ia harus pergi bersama 6 anaknya tanpa mengetahui keberadaan suaminya, Dil Mohammed, yang bekerja sebagai pedagang ikan di Inn Din.
“Semua desa di sepanjang jalan terbakar,” kata Hasina Khatun dari lima hari perjalanannya dari Myanmar dengan enam anaknya. "Ketika kami melihat api, kami mulai berlari."
Kini ia hidup di kamp Balukhali, Cox's Bazar, Bangladesh. Di kamp ini Hasina terisak mengingat keputusan "sangat sulit" untuk meninggalkan Myanmar tanpa suaminya.
Harta berharganya harus diberikan kepada pemilik perahu agar mengizinkan dia dan 6 anaknya menyeberang ke Bangladesh.
Di Na Khaung To, kawasan pantai di wilayah Myanmar tempat sebagian besar warga Rohingya menauiki perahu ke Bangladesh, Hasina memberikan dua anting kepada awak perahu. Tetapi pemilik perahu mengatakan itu cukup untuk membayar lima anaknya yang kecil, sehingga untuk anak lelaki tertuanya, Sultan Ahmed tidak diizinkan naik perahu.
Namun setelah memelas minta tolong, pemilik perahu akhirnya luluh dan mengizinkan semuanya menaiki perahu menyeberang ke Bangladesh.
2. Amina Khatun, 40 tahun, istri dari Abdul Majid
Amina Khatun, istri Abdul Majid, satu dari 10 pria Rohingya yang tewas dibunuh tentara Myanmar saat operasi militer di desa tempat tinggal warga Rohingya di Rakhine, Myanmar tahun lalu.
Amina Khatun mengingat tatapan terakhir suaminya, Abdul Majid, sebelum para prajurit Myanmar menyeretnya pergi. "Dia tampak sangat takut dan lelah. Saya tidak tahu mengapa dia dipilih," ujar Amina.
Dia kemudian sendirian membawa 8 anaknya bergabung dengan rombongan eksodus Rohingya ke Bangladesh. “Kami tidak tahu ke mana harus pergi. Kami hanya mengikuti yang lain. Saya pikir suami saya akan mengikuti.”
Amina mengetahui kematian suaminya dengan cara yang menyayat hati, yakni ketika kerabat di kamp Thaingkhali menunjukkan padanya foto yang diperoleh Reuters dari kuburan Abdul Majid.
Melihat kondisi mengenaskan suaminya itu, Amina menyerahkan semuanya kepada Allah.
3. Shuna Khatu, 30 tahun, istri dari Habizu
Ketika tentara membawa Habizu pergi sore itu, istrinya Shuna Khatu menunggu di dekat pantai dengan harapan yang memudar. "Awalnya, saya pikir dia akan datang. Kemudian gelap dan aku tahu dia tidak akan pernah datang,” kata Shuna.
Shuna memiliki dua anak dengan Habizu. Ia terpaksa melarikan diri ke utara bersama dua anaknya saat itu. Dari kejauhan mereka melihat asap mengepul di desanya. Setelah tiga hari, Shuna yang tengah hamil mencapai pantai Myanmar di mana ribuan Rohingya bergegas naik perahu ke Bangladesh.
Untuk naik ke perahu, Shuna Khatu merelakan anting-anting, kalung, dan sejumlah uang tunainya kepada pemilik perahu. Setibanya di Bangladesh, Shuna melahirkan seorang putra, Mohammed Sadek, yang tidak akan pernah mengenal ayahnya.
4. Abdu Shakur, 55 tahun, ayah dari Rashid Ahmed
Abdul Shakur, ayah Rashid Ahmed, satu dari 10 pria Rohingya yang dibunuh tentara Myanmar saat operasi militer di desa Rohingya di Rakhine tahun lalu.
Abdu Shakur sempat berdebat dengan istrinya tentang apakah harus meninggalkan putra mereka, Rashid Ahmed atau harus menunggunya sampai tentara melepaskannya. Tapi Shakur bersikeras mereka membawa tiga anak mereka yang lebih muda ke tempat yang aman di Bangladesh, dan percaya bahwa Rashid akan mengikuti.
"Saya percaya dia akan datang," katanya.
Lima hari kemudian, keluarga tiba di pantai tempat ribuan Rohingya yang ketakutan dan lapar menunggu kapal nelayan menuju Bangladesh. Baru saat itulah Shakur menyadari besarnya eksodus. "Rasanya seperti semua orang pergi," katanya.
Lima bulan kemudian, di satu kamp pengungsi di Bangladesh, dia mengetahui bahwa Rashid telah terbunuh. "Segala puji bagi Allah, putraku telah pergi ke surga," katanya.
5. Nurjan, 40 tahun, ibu dari Abulu
Setelah putranya Abulu dibawa oleh tentara, Nurjan mencari perlindungan di hutan terdekat dengan penduduk Rohingya lainnya di Inn Din. Saat itu dia ingin kembali ke desa untuk menegosiasikan pembebasan Abulu, tetapi yang lain mengatakan itu terlalu berbahaya.
“Saya benar-benar berharap saya pergi menyelamatkannya. Saya tidak peduli apakah mereka akan membunuh saya," ujar Nurjan.
Abulu dibunuh oleh penduduk desa Budha, menurut kesaksian yang dikumpulkan oleh Reuters dan foto kuburan yang menunjukkan tubuhnya yang dimutilasi.
Tetapi dalam mimpi Nurjan, dia hidup dan tidak terluka. "Aku bermimpi tentang dia beberapa malam yang lalu," katanya dengan mata yang berkaca-kaca. “Dia memberi tahu saya, 'Ibu, saya baik-baik saja. Jangan khawatir tentang saya. ’”
6. Nurjan, 45 tahun, ibu Nur Muhamad
Nurjan berusaha untuk tidak panik ketika melihat militer menggiring putranya, Nur Mohammed dan sembilan pria Rohingya lainnya. "Para prajurit mengatakan kepada kami untuk tidak perlu khawatir," katanya.
Nurjan menunggu dan berdoa selama tiga malam di hutan terdekat, tempat ratusan Rohingya lainnya berlindung. Tetapi Nur Mohammed tidak pernah muncul.
Dengan rumahnya yang telah habis terbakar dan tentara yang terus berpatroli di daerah mereka, Nurjan terpaksa ikut dengan ribuan warga lainnya mengungsi ke Bangladesh.
"Saya terkejut," katanya. “Saya tidak ingin meninggalkan anak saya tetapi saya tidak punya pilihan. Tidak mungkin saya bisa tinggal di sana. ”
Nurjan menceritakan kisahnya di sebuah gubuk di kamp Thaingkhali di Bangladesh. Sebelumnya akhirnya dia pingsan karena tak kuasa menahan kesedihan yang begitu perih.
7. Marjan, 25 tahun, istri Abdul Malik
Marjan, istri Abdul Malik, satu dari 10 pria Rohingya yang tewas dibunuh tentara Myanmar saat operasi militer di desa tempat tinggal mereka di Rakhine tahun lalu.
Marjan tinggal bersama lima anaknya di tenda seadanya di kamp pengungsi Thaingkhali. “Bahkan setelah saya tiba di sini, saya selalu berpikir dia akan datang,” kata Marjan tentang suaminya, Abdul Malik, seorang guru agama di Inn Din.
Malik adalah orang pertama yang ditahan oleh tentara di Inn Din pada September 2017. Anak gadis kembarnya Muqarrama dan Muqaddasa, yang berusia 7 tahun bahkan sempat menyaksikan ayah mereka dipukuli hingga berdarah. Sekarang, ketika mereka melihat tentara Bangladesh berpatroli di kamp, si kembar yang trauma akan lari ketakutan.
Marjan kini harus terus membohongi anak-anaknya itu bahwa Abdul Malik masih hidup ketika mereka menanyakan kapan ayahnya itu akan datang.
"Saya beri tahu mereka, Berdoalah kepada Allah. Lalu dia akan datang," katanya sembari berurai air mata.
8. Rahama Khatun, 35 tahun, istri Shaker Ahmed
Rahama Khatun melarikan diri dari Myanmar tanpa suaminya saat usia kandungannya mencapai 7 bulan. Hari-hari pertamanya di Bangladesh sangat melelahkan.
Dia harus bertahan hidup dengan mengandalkan makanan dan pakaian yang diberikan oleh orang-orang Bangladesh yang baik hati. Kemudian mereka pindah ke kamp Kutupalong, pemukiman pengungsi terbesar di dunia. Di sana, di sebuah gubuk berlantai lumpur, Rahama melahirkan anak kesembilannya.
Keluarga itu bertahan hidup dengan ransum dan lentil diperberat dengan menahan rindu yang tak berujung pada suaminya.
"Jika suami saya ada di sini, dia bisa bekerja dan menghasilkan uang untuk kami," katanya.
9. Settara, 22 tahun, istri Shoket Ullah
"Dia orang baik," kenang Settara akan mendiang suaminya, Shoket Ullah, penjual ikan di Inn Din. “Dia tidak pernah bertengkar dengan siapa pun. Dia berdoa lima kali sehari. Dia bekerja keras. "
Settara sekarang tinggal di kamp Kutupalong dengan putri mereka yang berumur 18 bulan dengan amarah yang meledak-ledak di dalam hatinya yang kemudian disampaikan melalui jurnalis Reuters. "Para pelaku harus dibunuh seperti suami saya," katanya.
10. Hasina Khatun, 25 tahun, istri Abul Hashim, dan juga saudari dari Abulu
Hasinah Khatun, istri Abdul Hashim dan saudara perempuan Abulu. Dua pria terdekat Hasinah ini merupakan bagian dari 10 pria Rohingya yang tewas dibunuh tentara Mynamar dalam operasi militer di desa tempat tinggal Rohingya di Rakhine tahun lalu.
Hasina Khatun kehilangan dua orang yang dicintai di Inn Din: suaminya, Abul Hashim, dan kakak laki-lakinya, Abulu. Dari gubuknya di kamp Thaingkhali, dia tidak bisa membayangkan bagaimana melanjutkan hidup ketika harus kembali ke Myanmar.
“Jika saya kembali, apa yang akan saya lakukan? Saya tidak punya suami, tidak punya saudara laki-laki. Siapa yang akan menjaga kami?"
Hasina hamil delapan bulan ketika dia meninggalkan Myanmar. “Tolong, Allah, biarkan aku melahirkan di Bangladesh,” doa Hasina sambil berjuang di sepanjang jalan berlumpur di tengah hujan lebat. Doanya dijawab: Anak laki-lakinya lahir di Thaingkhali.
Para keluarga korban tersebut, hingga kini tidak mengetahui apa kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang mereka cintai hingga harus menjadi korban kekejian tentara Myanmar. Bersama dengan sekitar 700 ribu pengungsi Rohingya lainnya mereka masih harus hidup dalam penderitaan dengan nasib yang tidak menentu.