TEMPO.CO, Jakarta -Peraih Nobel Perdamaian Tawakkol Karman dicabut keanggotaannya dari partai penguasa Yaman, partai Islah, setelah menuding Arab Saudi dan Uni Emirat Arab berniat memecah belah lalu menguasai Yaman lewat perang saudara yang berlangsung hampir empat tahun lamanya.
Menurut Karman, peraih Nobel Perdamaian tahun 2011 lewat perjuangannya menentang presiden otoriter Ali Abdullah dalam aksi protes yang dikenal sebagai Musim Semi Arab atau Arab Spring.
Baca: PBB: Arab Saudi Harus Bertanggung Jawab Kematian Anak di Yaman
Dan kini, Karman menuding Arab Saudi dan UEA memecah belah Yaman dengan mendukung kelompok separatis selatan untuk melawan pemerintahan yang diakui dunia internasional, Abd-Rabbu Mansour Hadi.
"Arab Saudi dan UAE mengambil untung dari milisi Houthi yang menguasai Sanaa untuk mencaplok dengan sangat buruk dan dampaknya semakin buruk di Yaman," ujar Karman melalui akun Twitternya, seperti dikutip dari Reuters, 4 Februari 2018.
Karman saat itu tengah berbicara dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Warwick Economics di London, Inggris pekan lalu. Ia mengatakan Arab Saudi dan UAE yang didorong oleh petualangan cerobohnya terjadi ketika ikut campur urusan dalam negeri Yaman tahun 2015, tepatnya setelah milisi Houthi dukungan Iran memaksa Hadi keluar dari Yaman menjadi eksil.
Baca: Yaman Terancam Kelaparan Meluas karena Blokade Arab Saudi
Mendengar pernyataan Karman tersebut, partai Islah, disebut sebagai cabang dari Ikhwanul Muslimin yang dituding sebagai organisasi teroris oleh Arab Saudi dan UEA, berusaha menjaga jarak dengan Karman. Bahkan memerintahkan untuk membatalkan keanggotaannya .
"Pernyataan Tawakoll Karman tidak mencerminkan kebijakan partai Islah, dan tidak segaris dengan sikap partai. Oleh karena itu, sekretaris jenderal telah memutuskan untuk membekukan keanggotaannya," ujar Islah melalui situs resminya.
Karman kemudian menyebut pemimpin Islah sebagai tahanan dan budak Riyadh dan Abu Dhabi.
Karman saat ini tinggal di luar Yaman setelah milisi Houthi menguasai Sanaa, ibukota negara itu. Houthi memulai pertempurannya melawan pemerintahan Yaman tahun 2014.
Baca: Berbalik Dukung Saudi, Eks Presiden Yaman Tewas Ditembak Houthi
Adapun separatis selatan awalnya bersama-sama pasukan pemerintah Yaman memerangi milisi Houthi. Namun pekan lalu, pasukan Yaman selatan bangkit melawan dan menduduki Aden, kota terbesar kedua di Yaman setelah presiden Hadi menolak memecat perdana menteri yang dituding korupsi dan salah mengatur pemerintahan.
Separatis selatan ini ingin kembali menuntut kemerdekaan menjadi negara Yaman Selatan setelah tahun 1990 memilih bergabung dengan Yaman Utara. Jika tuntutan mereka terpenuhi, maka Yaman kembali terbelah dua menjadi Yaman Selatan dan Yaman Utara.