TEMPO.CO, Jakarta - Pejabat PBB menyampaikan keprihatinan atas keamanan para pencari suaka muslim Rohingya di Sri Lanka. Ini karena pada Rabu kemarin sekelompok biksu Buddha nasionalis garis keras memaksa para pengungsi untuk meninggalkan tempat penampungan milik Perserikatan Bangsa Bangsa di ibukota Kolombo.
Dalam sebuah pernyataan, Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) mengatakan insiden itu mengkhawatirkan bagi pengungsi Rohingya, yang telah menjadi korban kekerasan dan penganiayaan di Myanmar.
Baca: Biksu Radikal Sri Lanka Pimpin Serangan ke Pengungsi Rohingya
“UNHCR menekankan para pengungsi membutuhkan perlindungan dan bantuan internasional. UNHCR mendesak masyarakat dan semua pihak yang bekepentingan dengan para pengungsi untuk terus memperluas perlindungan dan menunjukkan empati untuk warga sipil yang melarikan diri dari penganiayaan dan kekerasan.”
Baca: Jawaban Jokowi Soal Langkah Indonesia untuk Rohingya
UNHCR mengatakan pengungsi Rohingya tinggal di negara mayoritas Buddha Sri Lanka dengan persetujuan pemerintah Kolombo dan UNHCR menyediakan bantuan sampai solusi jangka panjang dapat ditemukan.
Pemerintahan Presiden Sri Lanka, Maithripala Sirisena, mengutuk penyerangan terhadap para pengungsi itu sebagai sesuatu yang ‘memalukan’ dan mendesak polisi untuk memburu para pelaku.
Dalam insiden yang terjadi pada Selasa 26 Agustus lalu, beberapa biksu Sri Lanka dan nasionalis garis keras melempari tempat pengungsian etnis Rohingya dan memaksa 31 penghuninya, terutama wanita dan anak-anak, melarikan diri untuk keselamatan mereka. Tidak ada korban jiwa dilaporkan akibat insiden itu.
Para saksi mengatakan para biksu menyerang tempat pengungsian sambil berkata “Rohingya adalah teroris” dan menuduh mereka telah membunuh biksu-biksu Buddha di Myanmar.
Para pengungsi Rohingya, yang sebelumnya ditahan pada April lalu bersama dua orang India tersangka perdagangan manusia di sebuah kapal di pelabuhan Sri Lanka, saat ini berada di sebuah kamp pengungsian di Selatan negara itu. Ini dilakukan untuk menjamin keamanan mereka setelah insiden yang terjadi di ibukota Sri Lanka tersebut.
REUTERS | DWI NUR SANTI