TEMPO.CO, New York - Orang pertama yang ditugaskan menginterogasi Saddam Hussein setelah Presiden Irak itu ditahan oleh pasukan militer Amerika Serikat pada 2003 mengakui bahwa pemimpin tersebut tidak mengembangkan senjata pemusnah seperti yang diduga oleh Washington.
Bahkan mantan analis Badan Intelijen Pusat AS (CIA), John Nixon, juga mengakui bahwa wilayah Arab akan lebih aman jika Saddam tidak digulingkan oleh tentara Barat. Nixon ditugaskan oleh pemerintah AS menyelidiki Saddam setelah pemimpin itu ditemukan bersembunyi dalam sebuah lubang pada Desember 2003.
Menurut Nixon, Gedung Putih menginginkan jawaban apakah ada bukti yang menunjukkan bahwa Saddam mengembangkan senjata pemusnah yang dapat mengancam keamanan AS atau wilayah Arab ketika itu.
Namun setelah menginterogasi Saddam dan penasihatnya, Nixon menemukan bahwa program nuklir Irak sudah dihentikan beberapa tahun sebelum tentara AS bersama sekutunya menginvasi Irak dengan alasan ingin menghancurkan senjata tersebut.
"Tim investigasi saya dicap gagal oleh pemerintah AS ketika melaporkan tentang kebenaran tersebut. Bahkan saya tidak diundang untuk menjelaskan hasil penyelidikan kepada Presiden ketika itu, George W. Bush, hingga 2008 dua tahun setelah Saddam dihukum gantung," katanya kepada portal berita BBC pada 4 Januari 2017.
Selain itu, Nixon mengungkapkan bahwa ia lebih aman menghabiskan waktu bersama Saddam dibandingkan Bush yang lebih menyakitkan hati karena menolak menerima keputusan penyelidikannya. "Saya pikir Presiden akan mendengarkan nasihat CIA, tetapi sebenarnya tidak karena kepentingan politik selalu berada di atas intelijen," katanya.
Nixon juga mengakui ia merasa malu dengan pergolakan yang terjadi di Irak pada hari ini setelah kejatuhan Saddam. Menurutnya pemerintah AS yang dipimpin Bush tidak pernah memikirkan dampak yang bakal terjadi ketika menginvasi Irak. "Pergolakan turut menyebabkan kebangkitan militan ISIS. Wilayah Arab mungkin lebih baik jika Saddam masih hidup," katanya.
Nixon juga menambahkan Saddam telah lama menghentikan program senjata nuklir di negaranya dan tidak memiliki niat untuk memulainya kembali. Namun tindakan itu telah direkayasa oleh AS.
BBC | YON DEMA