TEMPO.CO, Kairo - Manal adalah seorang ibu muda berusia 23 tahun yang tinggal di Fustat, distrik tertua di selatan Kairo. Manal yang tunawisma sedang menggendong anaknya. Di belakangnya terdapat foto seorang anak laki-laki yang ia sebut Ahmed. Ia bukan saudara Manal atau orang lain. Ahmed adalah Manal.
Manal memutuskan pergi dari rumah di umur 8 tahun. Pada usia 10 tahun, ia memangkas habis rambutnya dan mulai berpakaian seperti anak laki-laki. Lalu ia bekerja di tempat yang biasanya diisi pria Mesir. Ia pernah bekerja di kafe. Pernah juga mengemudi tuk-tuk.
Orang yang tidak kenal mulai memanggilnya Ahmed. Sejak itu nama Ahmed melekat pada diri Manal. "Laki-laki punya kebebasan penuh di jalanan, beda untuk gadis."Saya hanya ingin jadi laki-laki saat itu," kata Manal seperti dilansir oleh Guardian, 12 Juli 2015.
Ribuan anak-anak jalanan berada di lorong-lorong dan pusat keramaian Kairo. Banyak dari mereka bahkan hidup di sana hingga usia dewasa. Mereka muncul di perempatan jalan dan trotoar bar shisha. Mereka menjual tisu dari satu mobil ke mobil lain lalu menghilang.
Di Fustat, tempat dulu ibu kota Mesir berdiri, terdapat bangunan berlantai empat modern. Tidak berbeda dengan jalanan, tempat ini punya arti penting bagi anak-anak dan pemuda yang tidak beratap. Tempat itu dikelola oleh Banati, lembaga amal untuk gadis jalanan, dan menawarkan tempat istirahat bagi orang-orang seperti Manal dan temannya, Hadeel.
Hadeel juga gadis jalanan. Dia lari dari rumahnya di usia 8 tahun. Selama 20 tahun ia tinggal di jalanan. Dia sekarang punya enam anak dari dua pernikahannya. Dua anaknya tinggal bersamanya dan selebihnya bersama ibunya yang juga tinggal di jalanan. Lahir di luar sistem, mereka tidak punya identitas ataupun sertifikat.
"Saat ini kami bekerja untuk generasi ketiga anak-anak jalanan," ujar Hend Samy, pekerja sosial di Banati yang telah mengenal Hadeel bertahun-tahun. "Sekarang bukan hanya gadis atau laki-laki di jalanan, tapi juga keluarga. Mereka berkeluarga di jalanan."