TEMPO.CO, Jakarta - Tercabik perang dan konflik, selama satu setengah dekade terakhir, Afganistan kini berbenah. Pada 2001, produk Domestik Bruto (GDP) hanya US$ 190. Dari ribuan siswa, hanya laki-laki yang boleh sekolah. Tidak ada media independen. Hanya satu persen warga yang punya telepon.
Namun Duta Besar Afganistan untuk Indonesia, Roya Rahmani mengungkapkan melalui transisi di segala bidang, kini Afganistan telah berkembang. Rahmani, menyatakan negaranya kini gencar mencari mitra untuk bangkit dan mandiri. Salah satu negara yang menjadi prioritas adalah Indonesia, salah satu sahabat sejak lama.
Kepada Natalia Santi dan Maria Rita, yang menjumpainya menjelang perayaan Hari Kemerdekaan di Hotel Borobudur, Jakarta, duta besar yang baru enam bulan bertugas itu pun menuturkan apa saja yang akan dia lakukan selama di Indonesia.
Berikut petikan wawancaranya:
Apa arti penting Hari Kemerdekaan Afganistan?
Banyak perayaan hari nasional di Afganistan, tapi Hari Kemerdekaan yang paling dekat di hati rakyat. Tahun ini, perayaan ke-97. Hampir satu abad.
Meski istilahnya kemerdekaan, tapi Afganistan tidak pernah dijajah. Namun ada sebuah perjanjian, setelah sebelumnya urusan hubungan internasional dikelola Inggris, Raja Shah Aman Alad mengambil alih kembali pada 1919 dan mendeklarasikan kemerdekaan.
Pernah ke Indonesia sebelumnya?
Tiga kali, dalam kapasitas berbeda di berbagai organisasi internasional. Pertama kali untuk mempromosikan program peningkatan hak dan demokrasi, membantu sebuah lembaga swadaya masyarakat dalam membangun komunitas. Terakhir pada 2009, terkait program untuk mencapai tujuan Millenium Development Goals (MDG) di 11 negara, salah satunya Indonesia.
Apa rencana Anda untuk meningkatkan hubungan dengan Indonesia?
Saya memilih untuk datang ke Indonesia. Kedua negara tidak punya apa-apa, kecuali hubungan baik. Kita tidak punya problem politik, tapi kerja sama tidak cukup banyak. Malah menurut saya terlalu minimal.
Saya sangat berharap dan optimis untuk meningkatkan hubungan ekonomi. Afganistan dan Indonesia menginginkan hal yang sama. Indonesia ingin menyebarkan diplomasi ekonomi, negara kami memperjuangkan kemandirian ekonomi. Kita harus mengupayakan cara yang kreatif untuk bekerja sama.
Saya melihat banyak industry dan kesempatan ekonomi di Indonesia yang bisa diperluas hingga ke seluruh dunia melalui kami. Afganistan terletak di jantung kawasan. Dalam sejarahnya pernah menjadi jalur perdagangan, Jalan Sutra. Kalau ini dimanfaatkan bisa menjadi win-win solution bagi kedua negara.
Selain ekonomi, penting juga memperluas nilai-nilai Indonesia, toleransi, moderasi, pluralisme dalam konteks Islam. Juga pertukaran antar warga. Melalui pertukaran rakyat, kita bisa meningkatkan kerja sama ekonomi dan pemahaman di berbagai sektor. Kita juga bisa bekerja sama demi dunia dan kawasan yang lebih aman.
Afganistan kerap dikaitkan dengan radikalisme, bagaimana Anda menjelaskan hal ini?
Ini bukan fenomena Afganistan dan tidak pernah menjadi bagian dari nilai-nilai kami. Sebaliknya, radikalisme mengganjal kemajuan dan menghalangi berbagai kesempatan yang kami punya.
Radikalisasi tidak berasal dari Afganistan. Tidak ada ruang dan lingkungan yang memupuk hal itu. Juga tidak ada tempat perlindungan bagi teroris di Afganistan. Dalam hal ini, kami adalah korban. Sayangnya, dari perang dan permainan negara-negara besar.
Bagaimana situasi Afganistan saat ini?
Pasukan Afghanistan mengambil tanggung jawab keamanan sejak Desember 2014. Orang-orang berpikir jika tentara asing ditarik, Afganistan akan jatuh ke konflik total. Kami banyak kehilangan tak hanya tentara, tapi juga warga sipil. Tapi rakyat tidak menyerah.
Sejak 2014, kami berhasil melalui berbagai transisi, saling bergandengan tangan. Kini sudah pada jalur yang tepat.
Untuk pertama kalinya di Afganistan, banyak wanita menduduki jabatan tinggi di pemerintah, juga di badan legislative. Presiden kami memerintahkan tiap kementerian harus memiliki satu wakil menteri perempuan. Kini kami punya empat menteri kabinet perempuan, empat duta besar perempuan, wartawan dan pilot perempuan.
Apa persamaan antara Indonesia dan Afganistan?
Banyak hal yang membuat saya merasa di rumah. Seperti sikap orang-orangnya. Meski saya akui, orang Indonesia lebih lembut. Tapi ada kesamaan, yaitu niat baik dan kerja sama.
Misalnya jika Anda ke sebuah tempat parkir, dan tiba-tiba ada kotak menghalangi mobil anda. Di Afganistan, seseorang akan datang dan menolong Anda memindahkan kotak itu. Jika ada kemacetan, akan ada orang yang rela mengatur lalu lintas. Saya melihat di Indonesia juga seperti itu.
Apa persamaan Islam di Afganistan dan Indonesia?
Ada kesamaan saat merayakan Ramadan, Idul Adha. Di Indonesia, para ulama mungkin juga punya pendapat berbeda dalam beberapa hal, tapi di tingkat nasional, mereka satu.
Di Afganistan, juga tidak ada sektarian atau pertengkaran antar agama. Kami tidak punya visi soal syiah, sunni atau bahkan antar etnis grup. Jika ada masalah yang muncul, biasanya karena kepentingan pihak lain. Itu bukan otentik kami, bukan Afganistan. Di Afganistan juga tidak ada syiah Afgan atau Sunni Afgan.
Berapa nilai perdagangan kedua negara?
Hubungan ekonomi kedua negara tidak tinggi. Nilai perdagangan sekitar US$ 75 juta pada 2014. Nilainya turun pada 2015, karena transisi politik juga kondisi perekonomian dunia. Tapi kami mendorong target baru dari Indonesia yakni pada 2017 mencapai US$ 200 juta. Tiga kal lipat dari sekarang.
Apa produk yang diperdagangkan kedua negara?
Afganistan mengimpor berbagai produk dari Indonesia seperti minyak kelapa sawit, deterjen dan bahan kimia, ada sekitar 40-50 produk. Perdagangan lebih banyak Indonesia.
Dari Afghanistan ke Indonesia kita ekspor kismis. Kami punya buah kering kualitas terbaik. Selain itu karpet, batu mulia. Kami berharap kemitraan dengan Indonesia akan meningkat.
Apa tantangan hubungan kedua negara?
Kami punya komunitas pencari suaka, berusaha untuk pergi ke suatu tempat, dan kini ditampung di Indonesia. Kami bekerja sama dengan badan internasional terkait dan siap melakukan apa saja bersama pemerintah Indonesia untuk memfasilitasi transisi ini.
Bagaimana Anda menilai penanganan pencari suaka asal Afganistan oleh Indonesia dan Australia?
Situasinya berbeda. Mereka mencari status pengungsi di Australia. Harapannya mendapat status warga permanen dan di satu titik ada yang mendapat statut warga negara.
Di Indonesia, kebijakan tidak menerima atau memberi suaka. Pemerintah Indonesia sudah cukup baik (dalam memperlakukan pencari suaka, red.). Satu-satunya tantangan dalam masalah ini, karena tidak boleh bekerja kadang-kadang menimbulkan masalah, menjadi beban komunitas di sini dan bagi mereka sendiri.
Kami memahami sulit bagi Indonesia dan ada alasan kenapa kebijakan itu berlaku. Namun mengingat mereka tidak akan di sini selamanya, jika mereka punya kesempatan penghidupan… Tapi kami menghargai Indonesia.
Apakah ada kesepakatan dengan pemerintah Indonesia terkait hal ini?
Biasanya kami berhubungan dengan UNHCR (Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-bangsa, red.)
Afganistan terkenal akan keindahan alamnya, apakah Anda akan mengembangkan kerja sama di sektor pariwisata?
Sayangnya, karena masalah yang kami hadapi, kami tidak punya banyak turis. Padahal ini juga menjadi salah satu prioritas kami. Kami punya banyak tempat-tempat bersejarah yang indah, pemandangan alam yang luar biasa. Kami juga punya empat musim.
Potensi itu juga salah satu yang ingin kami kerja samakan dengan Indonesia. Yaitu bagaimana mengelola industry pariwisata. Kami juga ingin melihat kemungkinan bidang ini bisa mempromosikan kontak antar warga Indonesia dan Afganistan.
NATALIA SANTI