TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia dan Afganistan sama-sama optimistis dapat meningkatkan hubungan bilateral di berbagai sektor. Optimisme tersebut disampaikan Direktur Jenderal Asia Pasifik Afrika, Desra Percaya dan Duta Besar Afganistan di Indonesia, Roya Rahmani dalam Perayaan Hari Nasional Afganistan di Jakarta, Kamis, 22 September 2016.
Indonesia dan Afganistan telah menjalin hubungan diplomatik selama enam dekade. Di bidang perdagangan , terjadi penurunan pada 2015 karena kondisi ekonomi global. “Tapi kami optimistis akan meningkat lagi di tahun-tahun mendatang. Faktanya, selama lima tahun pertumbuhan perdagangan kedua negara positif di angka 3,83 persen,” kata Desra.
Optimisme serupa disampaikan Dubes Rahmani. "Persahabatan antara Afganistan dan Indonesia adalah salah satu yang paling lama dan tulus. Afganistan adalah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia dan membuka kedutaan di Jakarta pada 1954," kata Rahmani.
Perjanjian persahabatan Indonesia-Afganistan pertama diteken pada 24 April 1955. Presiden pertama Indonesia, Soekarno mengunjungi Afganistan pada 1961.
Dalam wawancara khusus dengan Tempo, Rahmani mengungkapkan meski Afganistan merayakan hari kemerdekaan selama 97 tahun terakhir, namun negaranya tidak pernah dijajah. "Kemerdekaan kami adalah peringatan sebuah traktat. Sebelumnya masalah luar negeri dikelola oleh Inggris, namun pada 1919, kami mengambil alih lagi kebijakan luar negeri,” kata Rahmani.
Di sambutannya Rahmani menyatakan saat ini negaranya digambarkan penuh konflik, tidak aman, miskin dan banyak pelanggaran. Namun dalam sejarahnya, Afganistan adalah negeri pecinta kebebasan, tempat kelahiran para penakluk legendaris, penyair dan filsuf.
"Sebuah tempat dimana orang-orang dikenal karena kesetiaan, keramahan dan ketekunannya," kata Rahmani.
Selama satu setengah dekade terakhir, Afganistan telah berbenah dari perang yang mencabik negeri itu. Pada 2001, hanya ribuan siswa laki-laki yang bersekolah. Produk Domestik Bruto (GDP) hanya US$ 190. Hanya satu persen yang punya telepon. Tidak ada media independen, wanita tidak boleh sekolah dan bekerja, hanya terkurung di rumah. "Ini bukan tradisi Afganistan, hanya perilaku barbar dari rezim Taliban. Yang menyedihkan mereka menggunakan agama kita tercinta, Islam sebagai pembenaran," kata Rahmani.
Namun saat ini, menurut Rahmani, Afganistan telah berubah. Ada 9,5 juta siswa di sekolah-sekolah, 40 persen di antarnaya perempuan. "Kami memiliki media paling bebas di kawasan dengan 150 saluran tivi, ratusan radio dan pers," kata dubes yang baru enam bulan bertugas di Indonesia tersebut.
Sebanyak 70 persen warga Afganistan memiliki telepon genggam dengan layanan yang mencakup 90 persen di seluruh negara. "Tim sepak bola dan kriket kami, meski baru berusia 10 tahun, tapi memenangkan pertandingan di tingkat kawasan dan dunia," kata salah satu duta besar perempuan asal Afganistan itu.
Dia mengungkapkan bahwa Afganistan kini tengah mencari kemitraan untuk memanfaatkan sumber daya alam tradisional dan mengembangkan ekonomi kreatif.
"Afganistan kaya dengan sumber daya mineral yang diperkirakan bernilai satu triliun dolar Amerika Serikat," kata dia.
Peningkatan hubungan dengan Indonesia menjadi salah satu prioritas Afganistan. Selama dekade terakhir ada 20 perjanjian dan Nota Kesepahaman dirancang dan diselesaikan. Beberapa di antaranya dalam tahap implementasi.
Komunitas bisnis Afganistan ingin mengeksplorasi perdagangan dan investasi di sektor energi, infrastruktur, makanan olahan, pertanian, pendidikan, komunikasi, industri garmen, farmasi dan pendidikan kejuruan. Indonesia dan Afganistan mentargetkan untuk meningkatkan perdagangan tiga kali lipat pada 2017.
NATALIA SANTI
Baca:
Tersentuh Derita Anak Suriah, Bocah AS Surati Presiden Obama
Paus Fransiskus: Beritakan Gosip Merupakan Bentuk Terorisme