TEMPO.CO, Jakarta - Situasi keamanan di Lembah Kashmir, India, masih mencekam pasca-kerusuhan, Sabtu, 9 Juli 2016, di kawasan tersebut. Situasi itu membuat perdagangan dan jual-beli kebutuhan rumah tangga tak berjalan. Namun Gullam Rasool, pemilik toko kelontong di sana, tetap membuka gerainya di Srinagar meskipun hanya beberapa jam.
Rasool, 50 tahun, tidak menjual banyak roti dan sayuran di tokonya sebagaimana sebelum kerusuhan karena khawatir bakal terjadi amukan massa susulan. Pihak berwenang telah menutup fasilitas Internet dan telepon prabayar sejak Sabtu pekan lalu. "Penguasa juga melarang penerbitan koran," kata para pemimpin redaksi media di sana.
Rasool menerangkan bahwa dia mendapatkan banyak informasi setelah berbicara dengan penduduk lokal. "Banyak korban dilarikan ke rumah sakit terdekat akibat kerusuhan Sabtu," ucapnya seperti dilaporkan New York Times, Senin, 18 Juli 2016.
Orang-orang tersebut, Rasool menjelaskan, kepada New York Times melalui wawancara telepon, menceritakan apa yang mereka dengar tentang korban tewas dan luka-luka pada hari amukan massa.
"Kami sedang dikelilingi rumor," ucap warga Srinagar lainnya, Shaikh Aizaz, yang mengoperasikan perusahaan bus wisata. "Tiga orang tewas di sini, dua di sebelah sana. Kami tidak tahu mana yang benar dan salah."
Pihak berwenang menerapkan jam malam dan kondisi darurat di Lembah Kashmir menyusul unjuk rasa berdarah pada 9 Juli 2016. Demonstrasi itu pecah setelah terjadi pembunuhan terhadap Burhan Muzaffar Wani, seorang komandan Hizbul Mujahidin dan pemimpin kelompok militan yang ingin memisahkan Kashmir dari India.
"Lebih dari 30 orang tewas darn ribuan lainnya cedera akibat kerusuhan tersebut," tulis New York Times.
NEW YORK TIMES | CHOIRUL AMINUDDIN