Saat ditanya apakah Cina bisa menerima keputusan mahkamah pada akhirnya, atau apakah upaya diplomasi dimungkinkan untuk membujuk Cina, Hasan merasa optimistis bahwa hal itu dimungkinkan. “Tapi tidak dalam waktu dekat,” kata dia.
“Melalui waktu, melalui dialog dan negosiasi, bisa juga secara sadar atau tidak perlu terbuka menolak, mengadopsi nilai-nilai substansi, seni diplomasinya nanti,” kata Hassan.
Dia menegaskan perlunya melakukan dialog dengan Cina, kalau bisa dengan negara-negara masing-masing pihak di Laut Cina Selatan. “Paling tidak upaya kolektif ASEAN untuk berdialog dengan Cina, itu harus diteruskan,” kata Hassan.
Mantan Menlu RI pada 2001-2009 itu menyatakan pada 2011 di Bali berhasil menyepakati tata perilaku dalam salah satu dialog ASEAN. “Malah ada target untuk mengusung satu perangkat aturan code of conduct (tata perilaku) yang mengikat,” kata dia, sambil mencatat upaya lima tahun yang lalu itu belum ada hasilnya sampai sekarang.
Dia menilai ASEAN sejak pertemuan di Kamboja pada 2012, tidak lagi kompak. Ketidakompakan itu terus berlanjut dan tampak dalam Pertemuan Cina-ASEAN di Kunming, baru-baru ini. “Kepemimpinan Indonesia diperlukan. Saya tidak pesimis, kita lihat saja. Presiden Joko Widodo mulai kerap hadir di pertemuan internasional. Diperlukan tokoh intelektual, negarawan,” kata Hassan.
Dia mengutip sebuah pertemuan di Prancis, saat itu membahas kepemimpinan di sana disebutkan bahwa seorang pemimpin yang bertumbuh dari pemilihan yang demokratis, perlu dua tahun untuk akrab dengan masalah internasional.
Indonesia juga harus berani menghadapi Cina dengan argumen yang baik. "Dialog dengan Tiongkok, kita punya posisi yang jelas. Jadi hadapi dengan dialog. Kalau dia bandel juga, masih main kayu, kita bisa bawa juga ke mahkamah internasional. Itu bukan konfrontasi tapi solusi damai untuk menyelesaikan konflik," kata Hassan.
Kepada Cina, Hassan juga pernah mempertanyakan sebagai negara yang memiliki hakim di mahkamah internasional, mengapa hanya berani mengadili masalah negara lain, tetapi tidak berani menghadapi masalah sendiri. "Anda punya hakim di mahkamah internasional, tetapi kenapa hanya berani mengadili masalah negara lain?" kata Hasan.
NATALIA SANTI