TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Luar Negeri RI Nur Hassan Wirajuda menyarankan Indonesia meninjau ulang pendekatan dalam menyelesaikan masalah Myanmar. Strategi baru atau modifikasi 5 Point of Consensus (5PC) yang tidak berjalan secara efektif di bawah dua keketuaan ASEAN sebelumnya, bisa menjadi pertimbangan.
"Junta militer merasa tidak begitu memahami, perlunya bernegosiasi dengan pihak NUG, (dan) kelompok minoritas yang selama ini mengangkat senjata melawan Pemerintahan (militer) Myanmar. Jadi situasinya tergantung pada kita (Indonesia), mestinya persoalan sesulit itu kita punya strategi jitu. Bagaimana? Itu tugas kawan-kawan saya, para pejabat yang menentukan," kata Hassan saat ditemui setelah acara di Sekretariat ASEAN Jakarta pada Selasa, 29 November 2022.
Baca juga: Wawancara Hassan Wirajuda Soal Arbitrase Laut Cina Selatan
Paing Takhon (kanan) saat demo menentang kudeta militer di Yangoon, Februari 2021. (Myanmar Now)
Myanmar diselimuti ketegangan sejak junta militer pada awal tahun lalu menggulingkan pemerintah sipil terpilih yang dipimpin oleh peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi. Gerakan perlawanan, termasuk yang menggunakan senjata, muncul di berbagai wilayah di Myanmar. Namun junta militer melawannya dengan kekuatan mematikan.
Baca Juga:
Indonesia menerima tongkat estafet keketuaan ASEAN dari Kamboja sekitar dua pekan lalu. Saat penyerahan presidensi di Phnom Penh, Presiden RI Joko Widodo mengatakan ASEAN harus menjadi kawasan yang stabil, damai, dan menjadi jangkar stabilitas dunia.
5PC dibuat oleh para pemimpin negara-negara anggota ASEAN pada April 2021 dengan lima poin yakni dialog konstruktif, penghentian kekerasan, mediasi antara berbagai pihak, pemberian bantuan kemanusiaan, dan pengiriman Utusan Khusus ke Myanmar.
Sejumlah pihak menilai 5PC itu tidak berjalan dengan baik. Ada sekitar 457 kelompok organisasi masyarakat sipil Myanmar menyerukan dalam sebuah surat terbuka ke para pemimpin ASEAN agar membatalkan konsensus tersebut dan membuka kerja sama dengan koalisinya.
Hassan mengatakan formulasi 5PC cukup baik karena melibatkan Myanmar saat kesepakatan itu dicapai. Namun mandeknya penerapan konsensus itu bisa menjadi alasan untuk peninjauan ulang.
Seperti dalam masalah Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar, misalnya, Hassan menganggap durasi yang diberikan sesuai masa keketuaan saja tidak akan cukup. Perlu ada langkah berkelanjutan.
"Kalau saya melihat paling sedikit memerlukan waktu 3 tahunlah wajarnya untuk bisa menangani masalah ini. Myanmar is the killing ground of special envoy. Ada 9 utusan khusus (special envoy), yakni 7 utusan khusus dari PBB, 2 dari ASEAN - semuanya tidak ada yang berhasil," kata Hassan.
Sebelumnya di sela KTT ASEAN, Presiden Jokowi menyerukan supaya konsensus ASEAN mengenai Myanmar diimplementasikan oleh junta militer. Nantinya, penerapan 5PC itu akan diawasi oleh para menteri luar negeri anggota ASEAN di bawah keketuaan Indonesia.
Baca juga: Laut Cina Selatan Rawan Konflik, Retno Marsudi: Butuh Paradigma Damai
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.