TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Terpilih Indonesia, Prabowo Subianto, memilih Cina sebagai negara pertama yang dikunjunginya. Cina juga menjadi lawatan pertama Presiden Joko Widodo, setelah dilantik pada 2014 silam. Ini menandai Indonesia melihat Cina sebagai mitra penting dalam hubungan internasionalnya.
74 tahun silam, tepatnya 13 April 2024, Republik Indonesia dan Republik Rakyat Cina resmi menjalin hubungan diplomatik. Hubungan yang dijalin Indonesia dengan Cina merupakan komitmen nyata kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, dalam konstelasi perang dingin kala itu.
Awal Persahabatan
Era Soekarno menjadi tonggak penting hubungan persahabatan Indonesia-Cina. Liu Hong, dalam China and the Shaping of Indonesia, 1949-1965, mengungkap pada masa itu Cina bagaikan mercusuar, penunjuk ke arah mana dan bagaimana Indonesia harus dibangun.
Model pembangunan ala Cina diperbincangkan para cendekiawan. Kisah-kisah mengenai Cina dimuat dalam surat-surat kabar, dan bahkan karya-karya sastra, sehingga menyentuh luas di masyarakat.
Tidak berlebihan apabila masa itu dijuluki sebagai masa bulan madu hubungan Indonesia-Cina. Interaksi dan pertukaran bukan hanya terjadi di tingkat elite, melainkan juga di akar rumput.
Perjanjian Persahabatan Ditandatangani
Hubungan kedua negara terus menunjukkan perkembangan positif, dengan kehadiran Perdana Menteri Cina Zhou En Lai pada Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 18-25 April 1955.
Dalam KAA Bandung "Lima Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai" yang dikemukakan Cina dan disponsori bersama Pemerintah India dan Myanmar, mendapat dukungan dari para peserta.
Indonesia dan Cina pun sepakat untuk mempererat hubungan yang telah berjalan baik kala itu, ditandai dengan ditandatanganinya perjanjian persahabatan serta persetujuan kerja sama kebudayaan pada 1 April 1961.
Dalam konteks hubungan luar negeri yang lebih luas, Indonesia amat penting bagi Cina yang saat itu bukan anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Cina, bagi Indonesia, juga tak kalah penting, apalagi setelah Indonesia memutuskan untuk keluar dari PBB pada awal 1965.
Keduanya menjalin suatu kemitraan dalam membangun solidaritas di antara negara-negara New Emerging Forces (NEFO).
Pola interaksi saling menguntungkan ini terus berulang dalam evolusi hubungan bilateral keduanya.
Namun, pada 30 Oktober 1967 kedua negara membekukan hubungan.