TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan bahwa pemerintah tak akan terlibat dalam pembayaran tebusan warna negara Indonesia yang disandera Abu Sayyaf.
"Perusahaan yang urus. Mereka punya tanggung jawab sendiri terhadap keluarga para anak buah kapal yang jadi sandera," kata Luhut di Ruang Nakula, Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Jakarta Pusat, Kamis, 21 April 2016.
Perusahaan yang dimaksud Luhut adalah PT Patria Maritime Lines, operator kapal Brahma 12 dan Anand 12 yang dirompak akhir Maret 2016. Meski dua kapal tersebut telah ditemukan, sepuluh WNI yang merupakan ABK kapal tersebut masih disandera dengan permintaan tebusan hingga 50 juta peso (Rp 14,3 miliar).
Luhut menanggapi kabar adanya imbauan Filipina kepada perusahaan agar tidak memenuhi tebusan tersebut. Pasalnya, uang tebusan yang tidak sedikit dianggap akan menyuburkan bisnis dan melancarkan pergerakan para perompak itu.
"Soal itu, saya juga setuju (tidak memberi uang pada perompak). Namun perusahaan punya tanggung jawab kepada keluarga sandera," ujarnya.
Saat ditanya apakah militer Indonesia akan mengawal perusahaan kapal tersebut saat transaksi uang tebusan berlangsung, Luhut tak memberi informasi pasti. "Soal penyanderaan ini, semakin banyak diomongin, semakin bahaya. Nanti saya bisikin saja," tutur Luhut sembari tersenyum.
Sebelumnya, Luhut mengatakan pemerintah masih kesulitan membebaskan sandera WNI. Apalagi ada empat WNI lagi yang disandera Abu Sayyaf pada 15 April lalu setelah perompakan di perbatasan Malaysia dan Filipina. "Kami tidak bisa menggelar operasi militer tanpa persetujuan kongres mereka (Filipina)," ucapnya.
Luhut mengatakan 14 ABK dalam keadaan selamat. Upaya pembebasan yang dilakukan pemerintah ialah memfasilitasi perusahaan untuk bernegosiasi dengan kelompok Abu Sayyaf terkait dengan tebusan.
YOHANES PASKALIS