TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan kasus penyanderaan warga negara Indonesia oleh kelompok Abu Sayyaf di perairan Filipina belum bisa dituntaskan dalam waktu dekat.
Setelah sepuluh WNI disandera akhir Maret 2016, kelompok tersebut kembali merompak dua kapal Indonesia di perairan perbatasan Malaysia dan Filipina, 15 April lalu, dan menyandera empat WNI. "Namun kami jamin komunikasi berjalan. Negosiasi antara pihak perusahaan kapal dan kelompok perompak itu juga masih berlangsung," ujar Luhut saat acara Coffee Morning di gedung Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Jakarta Pusat, Kamis, 21 April 2016.
Luhut mengatakan militer Indonesia belum bisa terlibat dalam proses penyelamatan karena rumitnya regulasi wilayah Filipina. "Rumit, kita tak bisa berandai-andai bagaimana bila militer kita ikut membantu. Sebab, konstitusi mereka (Filipina) melarang aktivitas militer asing di wilayah mereka," kata Luhut. Luhut menekankan tak akan ada operasi militer yang dilakukan tanpa perencanaan matang.
Kelompok Abu Sayyaf diduga bertanggung jawab atas penyanderaan kapal tunda (tug boat) Henry dan kapal tongkang Cristi di perairan perbatasan Malaysia dan Filipina pada Jumat lalu. "Kemungkinan kapal tersebut dibajak sempalan-sempalannya (kelompok Abu Sayyaf)," tutur Luhut saat berada di Ternate, Maluku Utara, Senin kemarin.
Soal motif, Luhut menyimpulkan pembajakan itu masih didasari uang. "Penculikan ini bukan soal ideologi, tapi konteksnya uang, sama seperti Somalia."
Dalam penyanderaan sepuluh WNI akhir Maret lalu, kelompok tersebut menuntut tebusan hingga 50 juta peso (Rp 14,3 miliar). Pemerintah Indonesia menolak terlibat dalam pemenuhan tebusan itu.
Sejak 2004, dalam berbagai kasus penyanderaan, baik yang diliput media maupun tidak, proses pembebasan paling cepat adalah tiga bulan. Sebagian besar berlangsung sekitar enam bulan sampai dua tahun.
YOHANES PASKALIS