TEMPO.CO, Rachine - Dalam sebuah wawancara, juru bicara Ma Ba Tha atau Asosiasi Patriotik Myanmar menolak klaim bahwa mereka merupakan sumber kekerasan terhadap muslim Rohingya di Myanmar. Ma Ba Tha merupakan kelompok pimpinan biksu Ashin Wirathu, yang mendukung rencana Thein Seine mengusir warga Rohingya.
Dia membantah tuduhan genosida yang dilancarkan beberapa kelompok hak asasi manusia baru-baru ini.
"Yang ingin saya tanyakan adalah apakah ada yang menyaksikan orang yang melakukan genosida ini?" kata U Kyaw Win Sein, manajer proyek untuk Ma Ba Tha, di Yangon. "Apakah ada saksi untuk genosida terhadap Rohingya?"
Win Sein juga mengomentari kekhawatiran yang muncul ihwal pencabutan hak suara dari 750 ribu orang, banyak dari mereka yang merupakan etnis Rohingya. Pemilu Myanmar berlangsung hari ini, Minggu, 8 November 2015.
"Rohingya adalah tamu," kata Win Sein, sebagaimana dilansir dari laman Stripes.com, Minggu, 8 November. "Tidak ditemukan dalam sejarah tamu dapat memilih di tempat mereka tidak berasal."
Politikus oposisi terkemuka Myanmar, Aung San Suu Kyi, yang diharapkan menjadi pembela kaum minoritas, belum secara terbuka merangkul dan memperjuangkan hak-hak Rohingya.
Suu Kyi dan partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), sangat berhati-hati dalam menangani muslim, meski tampaknya juga takut dukungan terhadap mereka berkurang.
NLD, sebagaimana dilaporkan Stripes.com, tidak mengakomodasi kandidat muslim tahun ini sehingga tak satu pun dari warga muslim terpilih menjadi anggota parlemen nasional.
Dalam konferensi pers, Kamis lalu, Suu Kyi juga menepis tuduhan tentang Rohingya menjadi korban genosida dan mendesak media tidak membesar-besarkan masalah. Ketika ditanya tentang Ma Ba Tha, ia hanya berbicara "agama digunakan untuk tujuan politik", tapi tidak mengkritik kelompok itu.
Namun, di kamp Da Paing, Rachine, pada Jumat, 6 November 2015, sulit menemukan kaum muslim Rohingya yang mengkritik Suu Kyi. Justru sangat mudah menemukan orang-orang yang mendukungnya.
"Dia memenangi hadiah (Nobel) untuk hak asasi manusia," kata Abu Seedik. "Jadi mungkin dia akan membantu kami."
Thein Maung, seorang penganggur, mengatakan, saat masih di Sittwe, dia ingat tinggal dengan teman-temannya yang beragama Buddha.
"Di pusat kota, kami hidup bersama dengan orang Rachine, saling mengunjungi rumah ke rumah, bergaul dengan satu sama lain," katanya. "Kemudian pemerintah memisahkan kami. Sekarang mereka bisa datang ke sini, tapi kami tidak bisa pergi ke sana."
Mantan nelayan itu mengatakan ia menunggu hasil pemungutan suara dan baru akan memutuskan langkah berikutnya, begitu pun warga Rohingya lainnya.
"Setelah dua bulan, jika situasi tidak berubah, kami akan pergi dengan perahu," katanya. "Kami akan menempuh perjalanan berbahaya."
STRIPES.COM | MECHOS DE LAROCHA