TEMPO.CO, Juba - Presiden Sudan Selatan Salva Kiir menandatangani pakta perdamaian dengan pemberontak setelah lebih dari sepekan menolak melakukannya. Acara penandatanganan yang digelar di Ibu Kota Juba tersebut dihadiri para pemimpin regional Afrika.
Presiden Kenya, Uganda, dan Perdana Menteri Ethiopia, yang turut membantu mediasi perdamaian itu, turut meneken kesepakatan perdamaian ini pada Rabu, 26 Agustus 2015.
Pemimpin pemberontak, Riek Machar, menandatangani kesepakatan di ibu kota Ethiopia, pekan lalu. Namun, pada hari yang sama, Kiir mengatakan pemerintahnya membutuhkan waktu untuk mempelajari isi perdamaian tersebut.
Dari markas Perserikatan Bangsa-Bangsa diperoleh kabar bahwa Dewan Keamanan PBB siap melakukan aksi bila Kiir tidak menandatangani kesepakatan perdamaian pada Rabu, 26 Agustus 2015, itu.
Wartawan Aljazeera, Anna Cavell, melaporkan dari Juba bahwa perubahan sikap Presiden Kiir ini sangat penting dan dapat mengubah kehidupan ratusan ribu orang yang terkena dampak perang saudara.
"Meski demikian, beberapa pucuk pimpinan pemberontak mengalami perpecahan. Dan mereka mengatakan bahwa kesepakatan perdamaian sama sekali tak bermakna bagi mereka. Hal itu tidak akan bisa mengakhiri peperangan," ujar Cavell.
Sudan Selatan dilanda perang saudara sejak Desember 2013 ketika terjadi perpecahan di kalangan pasukan keamanan. Sebagian anggota militer loyal kepada bekas Wakil Presiden Machar, yang dipecat oleh Kiir.
ALJAZEERA | CHOIRUL AMINUDDIN