TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 83 pelajar kelas XI sekolah menengah atas asal Indonesia yang mengikuti program pertukaran pelajar Kennedy-Lugar Youth Exchange Program (YES) di Amerika Serikat baru kembali ke Tanah Air. Mereka disambut Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Robert Blake.
Para pelajar tersebut terpilih dari 8 ribu peserta yang diseleksi oleh Yayasan Bina Antarbudaya di 20 kota, di antaranya Banda Aceh, Palembang, Banjarmasin, Samarinda, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Kupang, dan Ambon. Direktur Eksekutif Bina Antarbudaya Diar Andiani bercerita, mereka mesti menjalani tiga tahap seleksi, yaitu tes tertulis, wawancara, dan interaksi kelompok.
Untuk mengikuti seleksi, pelajar harus berstatus kelas X SMA serta punya prestasi dan kepribadian yang bagus. “Kami ingin mereka bisa belajar lebih banyak di sana, tapi juga punya nasionalisme yang tetap Indonesia,” kata Diar dalam acara buka puasa bersama para pelajar tersebut, akhir pekan lalu. Pelajar yang terpilih dikirim ke Negeri Abang Sam untuk tinggal di sana selama setahun.
Mereka disebar ke berbagai wilayah AS, seperti Michigan, Florida, Texas, dan Alaska. Para pelajar tinggal bersama keluarga host dan bersekolah di sekolah umum di sana agar bisa berkenalan dengan budaya dan masyarakat setempat.
Menurut Blake, pertukaran pelajar semacam ini adalah salah satu cara menciptakan kesepahaman antarnegara. “Ini salah satu cara terbaik mempromosikan rasa saling memahami kepada generasi muda,” katanya. YES digelar sejak 2003. Tidak hanya di Indonesia, program YES ada di 40 negara.
Blake mengaku tidak ada tindak lanjut YES secara spesifik seusai pertukaran pelajar. Hanya, dia berharap para pelajar yang kini termasuk jaringan alumnus YES bisa memelihara hubungan dengan keluarga host mereka dan mempertimbangkan belajar di universitas di Amerika kelak. “Kami berharap mereka menjelaskan kepada masyarakat tempat mereka tinggal tentang pengalaman mereka di Amerika dan orang-orang yang mereka temui di Amerika, serta bagaimana sambutan hangat yang mereka dapat di sana,” ujar Blake.
Salah satu peserta YES, Baiq Nabila Muftia Utami, 17 tahun, bercerita, dia mendapat segudang pengalaman dengan mengikuti YES. Di antaranya belajar menghargai hal-hal kecil, berpikiran terbuka, berkesempatan mengenalkan hijab kepada para pelajar Amerika, juga menjelaskan ihwal Islam yang sesungguhnya kepada keluarga host-nya. “Saya jelaskan, Islam tidak membunuh dan memenggal. Yang seperti itu adalah ekstremis ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah),” kata gadis berjilbab asal SMAN 1 Praya, Lombok Tengah, tersebut. Dia pun merasakan menjalani ibadah puasa sebagai minoritas, puasa seorang diri selama 17 jam.
Yang juga membanggakan, Nabila berhasil menduduki peringkat keempat dalam lomba pidato tingkat Negara Bagian Ohio. Dia dipilih untuk mewakili sekolahnya, Glenoak High School, Ohio. Uniknya, Nabila membawakan pidato tentang pengalamannya sendiri. “Saya berpidato tentang rasanya menjadi siswa pertukaran pelajar, seperti alien di Amerika,” ujar Nabila, yang sempat mengalami culture shock.
Tiga bulan pertama di Amerika baginya seperti rollercoaster. Perasaan senang disusul kesepian, lalu bangkit rasa senang lagi. “Pas nyusun pidato, lagi galau, saya ceritakan apa saja culture shock yg dihadapi peserta pertukaran pelajar dan bagaimana menghadapinya.” Ketika berpidato, Nabila sadar dia tidak hanya mewakili sekolahnya, melainkan juga Indonesia. Ternyata, tema dan cara penyampaian Nabila malah menarik perhatian juri. Terlebih, siswa pertukaran pelajar jarang mengikuti lomba di Amerika.
Kini, setelah menjadi juara, Nabila justru ketagihan ingin mewakili Indonesia. “Saya ingin jadi dubes. Walaupun culture shock, mewakili Indonesia itu menyenangkan!” ujarnya.
ATMI PERTIWI