TEMPO.CO, Jakarta - Perjalanan hidup Nelson Rolihlahla Mandela layak dijadikan panutan bagi politikus di seluruh dunia. Laki-laki kelahiran 18 Juli 1918 itu dikenal sebagai sosok yang tak kenal lelah memperjuangkan persamaan hak antara kulit putih dan kulit hitam di Afrika Selatan.
Awalnya tak ada nama "Nelson" saat dia dilahirkan di Mvezo, sebuah daerah pegunungan di timur Afrika Selatan. Nama Nelson baru diberikan oleh gurunya sebagai bagian dari pemberian nama Kristiani kepada seluruh murid sekolah.
Dia kemudian berkuliah di Fakultas Hukum di University of Witwatersrand di Johannesburg. Namun, dia tidak pernah lulus karena meninggalkan kuliahnya begitu saja. Dia lebih tertarik dengan politik dan menjadi salah satu pendiri Africa National Congress (ANC), Liga Pemuda yang menyuarakan perubahan secara radikal di Afsel.
Mandela mulai terjun ke dunia politik pada tahun 1950-an. Saat itu, pemerintah Afsel menerapkan sistem politik aphartheid, sistem politik yang membedakan warna kulit. Karena dinilai terlalu vokal dan melawan pemerintah, Mandela bersama puluhan aktivis lainnya pun ditangkap dan dipenjara selama lima tahun. ANC pun dilarang berakvitas oleh pemerintah.
Penembakan 69 orang aktivis kulit hitam pada tahun 1960 membuat perubahan signifikan pada perjuangan Mandela. Dia menjadi lebih radikal dan semakin berani melawan pemerintah. Dia pun memutuskan untuk berlatih militer di Maroko dan Ethiopia secara sembunyi-sembunyi pada 1962. Saat kembali, dia lagi-lagi ditangkap karena dianggap berencana menyabotase dan menggulingkan pemerintahan.
Mandela pun dipenjara seumur hidup dan menghabiskan waktu 27 tahun di Pulau Robben. Penjara itu dikenal sangat kejam dan tidak manusiawi. Bahkan, Mandela menyebut hari-hari pertamanya di penjara sebagai kegilaan. “Begitu banyak penyiksaan fisik dan beberapa teman saya sangat dipermalukan di penjara itu,” kata Mandela saat itu. (Baca: Nelson Mandela Wafat)
Namun, hal itu tidak menyurutkan nyalinya untuk terus berjuang melawan diskriminasi pemerintah. Bahkan, dia pun menyuarakan hak-hak terpidana yang membuatnya jadi dihormati di antara sesama penghuni Pulau Robben.
Potongan pidatonya yang terkenal adalah, “Saya berjuang melawan dominasi kulit putih dan saya juga berjuang untuk melawan dominasi kulit hitam. Saya mendambakan demokrasi yang ideal dan masyarakat yang bebas, di mana setiap orang bisa hidup harmonis dan memiliki hak yang sama.” Pidato itu dia ucapakan dalam penjara yang membuat dunia mendesak pemerintah Afsel untuk membebaskannya.
Angin segar mulai dirasakan dalam perjuangan Mandela pada 1988, atau saat dia berusia 70 tahun dan menderita penyakit tuberculosis. Dia pun dipindah ke penjara lain dengan pengamanan minimum sehingga memungkinkan dia menerima banyak tamu.
Tanggal 11 Februari 1990 menjadi hari bersejarah bagi Mandela. Dia secara resmi dibebaskan dari penjara dengan iringan tepuk tangan dari ribuan pendukungnya. Pemerintahan Presiden de Clerk pun siap mengakhiri politik aphartheid di negaranya. Empat tahun kemudian, Afsel menggelar pemilu demokratis pertamanya dan menempatkan Mandela sebagai presiden.
Meski diperlakukan tidak adil, Mandela tetap merangkul warga kulit putih untuk mewujudkan rekonsiliasi di negaranya. Dia juga mendirikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menginvestigasi pelanggaran HAM selama aphartheid.
Madiba, panggilan rakyat Afsel kepada Mandela yang merujuk pada sukunya, memenuhi janjinya untuk memimpin Afsel selama satu periode kepemimpinan. Tahun 1999 dia memutuskan tidak maju lagi sebagai presiden dan memutuskan untuk pensiun dari dunia politik. Dia pun akhirnya dinyatakan meninggal dunia pada 5 Desember 2013 karena penyakit tuberculosis yang sudah lama dideritanya.
Berbagai Sumber | DIMAS SIREGAR
Baca juga:
Jokowi Pesimistis Jakarta Bisa Bebas Pengemis
SBY Puji Jokowi Terapkan Lelang Jabatan
Sebar Nomor Telepon ke Warga, HP Jokowi Jebol
Ditantang Ruhut, Jokowi: Kalau Cebur Kali, Ayo