TEMPO.CO , Yangon - Pemimpin partai oposisi Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Aung San Suu Kyi dan semua anggota parlemen dari partainya menolak hadir dalam sidang pembukaan parlemen Burma, Senin 23 April 2012.
Penyebabnya, tuntutan mengganti istilah "pengawal konstitusi" dalam pembacaan sumpah anggota parlemen menjadi "hormat kepada konstitusi" tidak disetujui.
Juru bicara oposisi Nyan Win yakin perselisihan akan selesai dalam waktu sepuluh hari. "Kami bekerjasama dengan pemerintah, sehingga masalah akan bisa diatasi," katanya.
Anggota parlemen oposisi lain, Phyo Min Thein, mengatakan bahwa partainya menekankan persoalan itu karena perubahan lampiran Undang-undang itu signifikan dan sangat simbolis.
"Kami ingin mereka mengubah kata-kata karena menunjukkan kepada orang bahwa Undang-Undang 2008 dapat diubah," katanya. "Itu intinya."
Ketidakhadiran Suu Kyi dan 42 anggota parlemen terpilih dari partainya sudah diduga sebelumnya. Partai oposisi yang meraih 43 dari 44 kursi lowong di parlemen pada pemilihan sela 1 April 2012 lalu itu telah mengatakan bahwa mereka tidak akan bergabung smapai masalah sumpah itu diselesaikan.
Anggota parlemen dari oposisi, Ohn Kyaing, berkeyakinan masalah itu segera tuntas karena pemerintahan Presiden Thein Sein mendukung pengubahan sumpah itu. Pejabat NLD tak menganggap penting masalah itu dan mengatakan anggota parlemen dari partainya akan menghadiri sidang parlemen, kemungkinan pekan ini atau pekan depan.
Undang-Undang Myanmar mengalokasikan 25 persen kursi parlemen untuk anggota parlemen tanpa melalui pemilihan umum. Partai NLD tetap beranggapan ketentuan itu kontra demokratis.
Persoalan lainnya, konstitusi itu juga melarang warga Myanmar menjadi presiden yang memiliki kerabat warga negara asing. Pasal ini berimplikasi Suu Kyi tidak mungkin bisa menduduki kursi Presiden Myanmar. Sebab, ia menikahi pria berkebangsaan Inggris bernama Michael Aris, yang meninggal pada 1999. Dari pernikahannya dengan Aris, Suu Kyi memiliki dua putra yang tinggal di luar negeri.
Presiden Thein Sein yang menjabat sejak tahun lalu telah membaca adanya gelombang reformasi politik. Para analis politik berpendapat pemerintahannya memerlukan oposisi parlemen untuk mendapatkan pengakuan internasional melalui penyelenggaran pemilu.
Hasilnya, partai oposisi memenangi hampir semua kursi yang diperebutkan. Kesuksesan ini menjadi langkah besar bagi Myanmar setelah puluhan tahun berada di bawah rezim militer. Presiden Sein melakukan langkah ini agar negara-negara Barat dan sekutunya mencabut sanksi ekonominya.
AP | RINA WIDIASTUTI