TEMPO.CO , Jakarta -Desakan amendemen terhadap pasal penghinaan Kerajaan Thailand semakin kuat. Salah satunya bahkan datang dari dalam kerajaan. Delapan anggota kerajaan Thailand dari berbagai profesi Kamis 12 Januari 2012 dilaporkan menulis surat kepada Perdana Menteri Yingluck Shinawatra agar pemerintah segera membahas Pasal 112 Undang-Undang Pidana itu.
Dalam surat tertanggal 6 Januari itu, mereka mengingatkan pemerintah bahwa kasus penghinaan melonjak dari 0 kasus pada 2002 menjadi 165 kasus pada 2009. Padahal Raja Bhumibol Adulyadej sejak 2005 telah meminta agar aturan ini diperbaiki. Namun belum ada pemerintahan Thailand yang menindaklanjuti permintaan Raja.
“Raja tak ingin siapa pun dihukum karena aturan ini. Apalagi kerajaanlah yang mendapat kritik ketika seseorang dihukum atas aturan itu,” tulis mereka. Surat itu ditandatangani oleh Sumet Jumsai na Ayudhya, M.R. Saisavat Svasti, Saising Siribut, Narisra Chakrabhong, Worapoj Snidvong na Ayutthaya, Jenderal Krit Kridakorn, M.R. Pavari Suchiva (Rachani), and M.R. Opas Kanchanavichai.
Sebelumnya, surat sejenis juga dikirim oleh kelompok Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran. Aksi mendukung amendemen aturan tersebut juga disuarakan para dosen hukum kelompok Nitirat, Ahad lalu, di kampus Universitas Thammasat. Namun usaha ini seakan membentur tembok karena partai politik dan militer menolak mengubah aturan yang kontroversial tersebut.
Dalam kesempatan terpisah, utusan khusus Perserikatan Bangsa-bangsa untuk kebebasan berpendapat, Frank La Rue, mengunjungi Bangkok terkait dengan masalah ini. “Kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia internasional. Dan sebagai anggota PBB, Thailand harus melindungi hak tersebut,” ia menegaskan.
L THE NATION | BANGKOK POST | CHANNEL NEWS ASIA | SITA PLANASARI A.