TEMPO Interaktif, YANGON: --Parlemen Myanmar, yang didominasi militer, mengeluarkan beleid baru yang membebaskan warga untuk berdemonstrasi, Kamis 24 November 2011. Meski harus ditandatangani Thein Sein agar sah menjadi undang-undang, beleid ini menjadi upaya terbaru rangkaian aksi reformasi pemerintah Myanmar.
“Warga harus melapor lima hari sebelumnya ke pihak berwajib,” kata Aye Maung, wakil rakyat dari Partai Pembangunan Nasional Rakhine, kepada AFP. Massa dapat membawa bendera maupun simbol partai saat berdemonstrasi. “Tetapi tidak boleh berdemo di kantor pemerintah, sekolah, rumah sakit, dan kedutaan asing,” Aye menambahkan.
Aturan ini muncul setelah empat tahun lalu terjadi pembantaian massal terhadap para biksu yang menggelar unjuk rasa. Insiden yang dikenal sebagai “Revolusi Saffron” tersebut menelan 31 korban tewas, sementara ratusan biksu ditahan hingga kini.
Parlemen Myanmar yang baru terpilih Januari lalu sempat dipandang sebelah mata oleh para pengamat asing. Tapi rezim baru Myanmar berhasil mengejutkan dunia dengan melakukan banyak aksi reformasi, termasuk pembebasan pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi.
Upaya ini mulai menuai hasil. Myanmar secara aklamasi memperoleh kursi Ketua ASEAN pada 2014. Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengirim Menteri Luar Negeri Hillary Clinton ke Myanmar, Desember mendatang, untuk pertama kali dalam 50 tahun terakhir.
Bahkan Jepang kemarin mengumumkan akan mengirim delegasi untuk membahas bantuan pembangunan bagi Myanmar. Namun sinyal positif ini dirasa belum cukup. Negara-negara Barat masih mendesak Myanmar segera membebaskan para tahanan politik, yang hingga kini tidak jelas jumlahnya.
L CHANNEL NEWS ASIA | ASIA ONE | SITA PLANASARI A.