TEMPO Interaktif, Jakarta - Salah satu tokoh pendiri Lembaga Persahabatan Indonesia-Libya (LPIL), Lutfi Tamimi, menilai ada campur tangan asing dan kelompok radikal di balik pemberontakan di Libya. "Jelas ada kepentingan asing dan kelompok radikal, terutama Al-Qaidah,” kata Lutfi saat dihubungi Tempo, Senin, 24 Oktober 2011.
Lutfi menilai pemberontakan di Libya dilakukan orang-orang dari luar Libya. “Di antara mereka ini adalah narapidana yang lari dari penjara saat revolusi di Mesir,” ujarnya. Meski kepemimpinan bekas Presiden Libya Muammar Qadhafi otoriter, kata Lutfi, “Qadhafi membenci radikalisme,” tegasnya.
Menurutnya, Qadhafi adalah sosok yang membenci prinsip radikalisme yang dikembangkan kelompok-kelompok tertentu, terutama Al-Qaidah. “Makanya, Al-Qaidah membenci Qadhafi,” ujarnya. Di lain pihak, asing melalui organisasi North Atlantic Treaty Organization (NATO) juga berkepentingan menghabisi hegemoni Qadhafi.
Lutfi yang lama berhubungan dengan tokoh-tokoh ulama di Libya mengatakan selama ini Qadhafi sangat menjamin kesejahteraan rakyatnya. Tiap bulan, menurutnya, pemerintahan Qadhafi memberikan bantuan uang ke tiap warga negara sebesar 400 dolar Amerika. “Bensin termurah di dunia itu ada di Libya,” katanya.
Ia juga menyayangkan perlakuan para pemberontak pada Qadhafi saat ditangkap. Bahkan, ia pesimis segera terbentuk pemerintahan yang baru. “Rasanya berat membentuk pemerintahan yang baru. Sekarang saja mereka (Dewan Transisi Nasional) ribut sendiri,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Kesatuan Keluarga Mahasiswa Indonesia (KKMI) di Libya, Miftakhur Risal, menghimbau pemerintah Indonesia agar berhati-hati menyikapi masa transisi di Libya. “Sebelum ada pemilu dan pemerintahan yang sah, pemerintah Indonesia jangan blunder mengakui NTC (Dewan Transisi Nasional),” jelas Miftakhur.
Miftakhur mengatakan konflik di Libya telah mengganggu kerja sama Libya dengan negara lain di bidang pendidikan dan dakwah. “Seluruh mahasiswa Indonesia yang kuliah di sana terpaksa dievakuasi. Ini sangat merugikan,” tuturnya. Kini dari 119 mahasiswa Indonesia yang kuliah di Libya, mayoritas pindah studi ke beberapa universitas negeri di Indonesia. Kecuali yang sudah tingkat akhir atau tugas akhir, mereka berencana kembali ke Libya untuk menyelesaikan studinya.
ISHOMUDDIN