TEMPO Interaktif, Angin politik mulai kencang bertiup menjelang pemilihan Presiden Korea Selatan 2012. Suara-suara yang kecewa atas pemerintahan Lee Myung-bak tidak lagi samar-samar disuarakan. Di ruang kerjanya di Universitas Yonsei, Seoul, Moon Chung-in mengungkapkan kekecewaannya terhadap Lee, yang dinilainya konservatif.
Sorotan terutama dialamatkan pada kebijakan Lee terhadap penyelesaian konflik panjang dengan negara tetangganya, Korea Utara. Menurut ahli sejarah dan politik Korea tersebut, Lee dan partai pendukungnya, Partai Nasional Utama (Grand National Party), bersama militer telah memperkeruh hubungan dengan Pyongyang.
Pendekatan militer dengan membentuk pasukan penjaga perdamaian (peace keeping force) diyakini tidak akan menghasilkan perdamaian yang permanen bagi kedua negara. Pemerintah Lee juga tidak berinisiatif sendiri menyelesaikan konflik dengan Korea Utara. Sebaliknya, lebih banyak mendengarkan sekutu utamanya, Amerika Serikat.
Pemerintah Lee, menurut Moon, seharusnya mengedepankan pendekatan nonmiliter seperti kerja sama atau perdagangan dengan Pyongyang. “Masalah ada di pemerintah,” ujarnya saat berdiskusi dengan peserta Gwangju Asian Folk School 2011.
Sikap konservatif Lee juga menimpa Moon. Ia tidak lagi diizinkan berkunjung ke Korea Utara untuk bertemu dengan koleganya. Kebijakan serupa diterapkan kepada warga Korea Selatan di perbatasan.
Mantan Sekretaris Presiden Kim Dae-jung, Bapak Demokrasi Korea
Selatan, tersebut menjelaskan, pada masa Kim, hubungan kedua negara berlangsung jauh lebih baik. Saat itu Kim menerapkan kebijakan yang dikenal sebagai Sunshine Policy. Kebijakan ini menolak pendekatan militer serta mengedepankan kerja sama dan pertukaran perdagangan tanpa batas waktu.
Suara kecewa juga disuarakan oleh Chung Il-joon, sejarawan Korea dari Universitas Korea, Seoul. Menurut dia, unifikasi dua Korea sangat kompleks sehingga tidak bisa diselesaikan dengan kekerasan bersenjata, seperti yang terjadi di Semenanjung Korea pada akhir 2010.
Masyarakat Korea Selatan juga belum siap untuk rekonsiliasi. “Karena masih ada upaya balas dendam satu dengan lainnya,” ujarnya. Padahal seharusnya Korea Utara bukan dianggap sebagai musuh.
Setali tiga uang. Park Gang-eui, budayawan dan pejuang hak asasi manusia Korea, juga kecewa terhadap Lee, yang membuat banyak rintangan bagi kegiatan budaya. Tahun lalu, misalnya, sempat terjadi debat atas lagu perjuangan yang diputar di pemakaman korban peristiwa perjuangan rakyat Korea yang menuntut demokrasi, atau dikenal dengan Gwangju Uprising pada Mei 1980. “Lagu itu dilarang untuk dinyanyikan,” ucap Park.
Menurut Moon, jika Lee kembali berkuasa, hubungan dua Korea bisa jadi semakin buruk. Ia sendiri tidak menganggap unifikasi dua Korea itu merupakan sesuatu yang penting. Sedangkan Chung tidak mengharapkan unifikasi. Kedua negara dapat hidup bertetangga dengan baik dan damai tanpa dipaksakan untuk bersatu kembali.
Namun Lee sepertinya tidak akan mundur. Pekan lalu, ia mengganti beberapa menteri yang mengurusi Korea Utara karena menuai banyak kritik. Lee pun memastikan diri maju lagi dalam pemilihan presiden tahun depan. Sebuah risiko politik yang akan dibayar mahal oleh rakyat Korea Selatan.
MARIA RITA (SEOUL, GWANGJU)