TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat Denmark di pusat kota Kopenhagen menandai kembalinya mie ramen pedas Korea Selatan ke rak-rak supermarket, pada Kamis, 8 Agustus 2024.
Sebelumnya, pada bulan Juni, Badan Makanan dan Hewan Denmark menemukan kadar capsaicin yang tinggi pada mie tersebut menimbulkan risiko kesehatan yang serius. Akibatnya, mie tersebut dilarang beredar di pasaran.
Samyang, yang menjual produk tersebut di seluruh dunia, telah menentang larangan tersebut. Kemudian, setelah pembatalan larangan tersebut, mereka merayakannya dengan memberikan mie buatannya kepada para influencer media sosial saat berkumpul di atas feri yang dihiasi warna merah cerah milik perusahaan tersebut di pelabuhan Kopenhagen.
Apa itu capsaicin?
Dilansir dari National Library of Medicine, capsaicin pertama kali diidentifikasi sebagai senyawa yang memberikan sensasi pedas pada cabai pada awal abad ke-19. Namun, baru pada 1919 komposisi kimianya berhasil ditentukan secara lengkap oleh ahli kimia E. K. Nelson.
Penelitian lebih lanjut pada 1960-an menjelaskan jalur biosintesis capsaicin, yang mengarah pada pemahaman lebih dalam tentang bagaimana senyawa ini dihasilkan oleh tanaman cabai. Sejak ditemukan, capsaicin telah digunakan dalam pengobatan tradisional dan homeopati dengan konsep counter-irritant.
Konsep ini menggunakan iritasi ringan untuk meredakan iritasi yang lebih parah. Salah satu penggunaan pertama capsaicin dalam pengobatan adalah untuk mengurangi nyeri akibat luka bakar atau gatal pada bagian tubuh tertentu. Seiring waktu, capsaicin mulai digunakan secara lebih luas untuk mengobati berbagai kondisi nyeri kronis.
Capsaicin bekerja dengan menargetkan reseptor khusus yang dikenal sebagai reseptor vanilloid subtipe 1 atau TRPV1 yang ditemukan pada serabut saraf untuk merasakan nyeri. Ketika capsaicin diaplikasikan pada kulit atau area yang nyeri, senyawa ini akan mengaktifkan reseptor TRPV1 yang menyebabkan masuknya ion kalsium dan natrium ke dalam sel.
Proses ini menyebabkan depolarisasi sel saraf, yang pada gilirannya memicu transmisi sinyal nyeri ke otak. Namun, penggunaan capsaicin secara terus-menerus dapat menyebabkan desensitisasi pada serabut saraf yang berarti saraf menjadi kurang responsif terhadap rangsangan nyeri.
Ini terjadi karena tingginya permeabilitas saluran TRPV1 terhadap ion kalsium yang menyebabkan kerusakan pada organel seluler, termasuk mitokondria. Selain itu, penggunaan capsaicin secara berulang juga dapat menyebabkan pengurangan jumlah substansi P yang merupakan salah satu mediator utama dalam transmisi sinyal nyeri.
Beberapa kondisi yang diketahui dapat diobati dengan capsaicin antara lain:
- Nyeri neuropatik non-diabetik
- Neuralgia pasca-herpes
- Osteoarthritis
- Nyeri muskuloskeletal kronis
- Sindrom nyeri pasca-mastektomi
- Sindrom mulut terbakar
- Overactive bladder
- Gastropati
- Mual dan muntah pasca operasi
Meskipun capsaicin memiliki banyak manfaat, penggunaan senyawa ini juga dapat menyebabkan efek samping. Efek samping yang paling umum dilaporkan termasuk iritasi pada kulit, seperti kemerahan, nyeri, gatal, dan pembengkakan di area yang diaplikasikan. Efek samping lainnya termasuk mual, muntah, sakit kepala, dan iritasi tenggorokan.
Beberapa penelitian juga melaporkan bahwa capsaicin dapat menyebabkan masalah pernapasan pada individu yang sensitif, terutama pada penderita asma. Namun, secara umum, tidak ada kontraindikasi dalam penggunaan capsaicin, meskipun perlu diingat bahwa setiap orang dapat merespons senyawa ini dengan cara yang berbeda.
REUTERS | NCBI
Pilihan editor: Heboh Mie Ramen di Denmark Membedah Kandungan Mie Ramen