TEMPO.CO, Jakarta - Amerika Serikat, Kamis, 18 April 2024, secara efektif menghentikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengakui Negara Palestina dengan menggunakan hak veto di Dewan Keamanan untuk menolak keanggotaan penuh Palestina di badan dunia tersebut.
Amerika Serikat memveto rancangan resolusi yang merekomendasikan kepada Majelis Umum PBB yang beranggotakan 193 negara agar "Negara Palestina diterima sebagai anggota" PBB. Inggris dan Swiss abstain, sementara 12 anggota dewan lainnya memberikan suara setuju.
Negara Palestina merupakan sebuah negara di Timur Tengah antara Laut Tengah dan Sungai Yordania. Status politiknya masih dalam perdebatan. Sebagian besar negara di dunia termasuk negara-negara anggota OKI, Liga Arab, Gerakan Non-Blok, dan ASEAN telah mengakui keberadaan Negara Palestina. Wilayah Palestina saat ini terbagi menjadi dua entitas politik, yaitu Wilayah Pendudukan israel dan Otoritas Nasional Palestina. Deklarasi Kemerdekaan Palestina dinyatakan pada 15 November 1988 di Aljazaer oleh Dewan Nasional (PNC) Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Dilansir pada kemlu.go.id, Palestina terletak di lokasi yang strategis, di antara Mesir, Suriah dan Jazirah Arab, wilayah ini mempunyai sejarah yang panjang. Batas-batas dari wilayah ini selalu berubah sepanjang sejarah, dan terakhir kali ditetapkan pada zaman modern oleh Persetujuan batas Perancis-Britania (1920) dan Nota Transyordania (tanggal 16 September 1922), selama periode Mandat Palestina.
Konflik Palestina
Dilansir pada uinsgd.ac.id, akar konflik Israel-Palestina dapat ditelusuri kembali ke akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 ketika gerakan Zionisme, yang berusaha untuk membangun tanah air Yahudi, mulai mendapatkan momentum.
Pamphlet The Jewish State yang ditulis oleh Theodor Herzl (1860-1904), seorang Yahudi Austria-Hungaria, sering dilihat sebagai dokumen dasar Zionisme politik modern. Tujuan gerakan ini adalah untuk membangun tanah air Yahudi di Palestina, yang pada saat itu merupakan bagian dari Kekaisaran Ottoman.
Selama berabad-abad, wilayah Palestina dihuni oleh mayoritas penduduk Arab, termasuk Arab Palestina, komunitas Yahudi dan Kristen. Ketegangan mulai meningkat di wilayah ini seiring dengan meningkatnya imigrasi Yahudi ke Palestina.
Deklarasi Balfour pada tahun 1917, yang dikeluarkan oleh pemerintah Inggris pada Perang Dunia I, menyatakan dukungan untuk pembentukan “rumah nasional bagi orang Yahudi” (national home for the Jewish people) di Palestina. Deklarasi ini semakin memperburuk konflik tentang tanah dan identitas antar komunitas di wilayah Palestina.
Keputusan PBB untuk membagi Palestina pada tahun 1947 menjadi negara Yahudi dan negara Arab yang terpisah menandai titik balik dalam konflik Israel-Palestina. Pemisahan ini diterima oleh pemimpin Yahudi, tetapi ditolak oleh pemimpin Arab. Akibatnya, terjadi perang besar antara pasukan Yahudi dan pasukan Arab. Pada tahun 1948, negara Israel secara resmi didirikan. Ini mengakibatkan pengusiran massal sekitar sejuta warga Arab Palestina dari tanah mereka dan penciptaan negara mayoritas Yahudi di tanah Palestina. Peristiwa ini, yang dikenal sebagai Nakba (catastrophe; malapetaka), sampai kini menjadi kenangan yang sangat menyakitkan bagi Palestina.
Dewan Keamanan PBB
Dilansir dari press.un.org, Pada tahun 2011, Palestina mengajukan permohonan untuk menjadi negara anggota penuh PBB. Meskipun aspirasi tersebut tidak terwujud, Palestina memperoleh status sebagai negara pengamat non-anggota pada bulan November 2012 melalui pemungutan suara Majelis dengan hasil 138 setuju dan sembilan tidak setuju (Kanada, Republik Ceko, Negara Federasi Mikronesia, Israel, Kepulauan Marshall, Nauru, Panama, Palau, Amerika Serikat), dengan 41 abstain.
Permohonan untuk masuk ke dalam keanggotaan PBB harus disetujui oleh Dewan sebelum diteruskan ke Majelis, di mana hal ini membutuhkan setidaknya dua pertiga dukungan untuk dapat lolos.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) baru-baru ini memblokir upaya Palestina untuk menjadi anggota penuh (PBB) karena veto Amerika Serikat terhadap rancangan resolusi yang akan merekomendasikan pemberian status tersebut.
Proposal yang diajukan oleh Aljazair ini mendapatkan 12 suara setuju, dengan Amerika Serikat memberikan suara negatif, sementara Swiss dan Inggris abstain. Sebuah resolusi Dewan membutuhkan setidaknya sembilan suara setuju dan tidak ada veto dari lima anggota tetapnya - Cina, Prancis, Federasi Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat - untuk meloloskannya. Rancangan Aljazair gagal, karena adanya veto dari Amerika Serikat.
REUTERS | AL JAZEERA | UINSGD.AC
Pilihan editor: Reaksi Dunia Atas Veto AS untuk Negara Palestina