TEMPO.CO, Jakarta - Perang Iran-Israel dikhawatirkan meluas dan menyeret sejumlah negra. Setelah serangan Iran kepada Israel beberapa waktu lalu, sejumlah negara sekutu Israel termasuk negara barat menyatakan siap membela negara zionis tersebut. Salah satu negara yang siap membela Israel adalah Amerika Serikat.
Seperti diketahui permusuhan Iran dengan Israel dan Amerika hampir berumur setengah abad. Pada mulanya, baik Amerika maupun Israel punya hubungan yang dekat dengan negara Persia tersebut. Bahkan Amerika membantu Iran mengembangkan nuklir.
Mengutip dari jurmal studi sosial dan politik Program Nuklir Iran saat itu sempat menjadi perhatian dunia. Program nuklir ini dikembangkan sejak masa Pra-Revolusi Islam tepatnya pada tahun 1957.
Program Nuklir Iran
Melansir jurnal berjudul Iran, Nuklir, Sanksi, Militer, dan Diplomasi, karya Dian Wirengjurit, sejak 1953 Iran mulai mengembangkan program nulkir yang dibantu oleh Amerika Serikat di bawah pimpinan presiden Dwight D. Eisenhower. Dalam pidatonya di United Nation General Assembly ia menyebut istilah "Atoms for Peace" yang akan menjadi cikal bakal penghentian lomba senjata nuklir skala global. Pidato Eisenhower ini menjadi inspirasi terbentuknya International Atomic Energy Agency (IAEA) pada 29 Juli 1957.
Eisenhower mengharapkan agar program ini semata-mata mampu memberikan manfaat kepada negara-negara dalam bentuk positif. Program Atoms for Peace inilah yang menjadi landasan bagi program nuklir Iran karena menyediakan pendidikan nuklir.
Pada tahun 1957, Shah Mohammad Reza Pahlevi, raja Iran bersama Eisenhower menandatangani kerja sama nuklir sipil yang berisi bahwa AS akan memberikan kesempatan kepada negara-negara berkembang untuk mengembangkan riset dan energi nuklir. Imbalannya, negara-negara tersebut harus meninggalkan ambisi untuk memiliki senjata nuklir.
Melihat harmonisnya hubungan Shah dan AS membuat Prancis dan Jerman ikut memberi dukungan pada program nuklir Iran ini. Tak hanya itu, AS juga berinvestasi pada proyek ini, meskipun gambaran Shah berambisi memiliki senjata nuklir terus terbayang-bayang.
Di bawah perusahaan AS, American Machine and Foundry atau AMF reaktor-reaktor nuklir dibangun di Iran. Pertama, Iran mendapat suplai 5 megawatt rekator senilai satu juta dolar Amerika Serikat untuk fasilitas nuklir di Universitas Tehran. Kemudian menyusul perusahaan AS lainnya, general Dynamics yang menyediakan 5,15 kg uranium. Iran akhirnya resmi menjadi anggota IAEA.
Meskipun tujuan program nuklir ada adalah jalan menuju kedamaian, namun sifat duel uses dalam teknologi nuklir yang punya dua tujuan: damai atau milter tetap kental. Pasca Revolusi Iran 1979, Komunitas intelijen Barat mulai mengendus bahwa raja Iran sudah mempunyai maksud mengebangkan pendidikan nuklir menjadi kapabilitas senjata nuklir.
Pada 2002, kelompok oposisi Iran di pengasingan mengungkapkan bahwa terdapat bukti-bukti kuat Iran sedang membuat senjata nuklir. Sejak itu pula sanksi semakin diperketat, ditambah dengan ancaman serangan militer yang ditujukan untuk menghancurkan program nuklir Iran.
Selama dua dasawarsa hingga saat ini tuduhan itu tidak pernah dapat dibuktikan dan upaya diplomasi akhirnya dapat menyelesaikan masalah ini dengan dicapainya kesepakatan JCPOA pada 2015. Namun sayangnya, perjanjian yang diupayakan dengan susah payah ini akhirnya ditinggalkan begitu saja oleh Presiden Amerika, Donald Trump pada 2018.
KARUNIA PUTRI | DIAN WIRENGJURIT
Pilihan Editor: Seberapa Kuat Iran Mempertahankan Diri dari Serangan Israel?