TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Agung Israel telah menolak permintaan kelompok media asing untuk memberikan akses independen kepada jurnalis di Jalur Gaza yang terkepung.
Israel mengontrol akses masuk ke Gaza dan tidak mengizinkan jurnalis asing berkunjung ke sana secara bebas sejak serangan brutal dimulai pada 7 Oktober.
Mahkamah mengklaim bahwa pembatasan tersebut diperlukan atas dasar alasan keamanan, karena akses independen oleh jurnalis dapat “membahayakan” pasukan pendudukan Israel (IOF.)
Pengadilan menyatakan bahwa mengizinkan jurnalis masuk akan mengungkap potensi “rincian operasional” seperti lokasi IOF dengan cara yang akan “menempatkan mereka dalam bahaya nyata.”
Dengan lebih dari 23.000 warga sipil terbunuh di Gaza akibat serangan udara Israel dan hampir 59.000 orang terluka, jelas bahwa satu-satunya yang berada dalam bahaya di Gaza adalah warga Palestina.
Asosiasi Pers Asing (FPA) di Al-Quds menyatakan kekecewaannya atas keputusan tersebut, dan menyatakan dalam sebuah pernyataan bahwa larangan selama 95 hari berturut-turut tersebut “belum pernah terjadi sebelumnya.”
Pengadilan Israel mengklaim pihaknya berupaya mencapai keseimbangan antara keselamatan jurnalis dan IOF serta “kebebasan pers”.
Pernyataan tersebut menekankan bahwa media internasional dan Israel telah membatasi akses ke Gaza di bawah pengawalan militer Israel.
Namun, FPA membantah bahwa pengawalan militer terbatas pada media tertentu dan sangat dikontrol.
“Kami percaya kekhawatiran “Israel” mengenai pemberitaan posisi pasukan tidak dapat diabaikan ketika jurnalis Palestina terus beroperasi di Gaza, dan ketika sangat penting bagi pers asing untuk mengakses wilayah Gaza di mana tidak ada pasukan,” kata FPA.