TEMPO.CO, Jakarta - Polisi Israel mengalami kesulitan besar dalam mencari dan menemukan pemukim Israel yang menjadi korban pemerkosaan atau saksi dari tindakan yang diduga dilakukan oleh gerakan Perlawanan Hamas selama Operasi Banjir Al Aqsa 7 Oktober.
Menurut surat kabar Israel Haaretz, Kamis, 4 Januari 2024, salah satu penyebar utama klaim bahwa pejuang Perlawanan Palestina melakukan pelecehan seksual terhadap wanita Israel pada 7 Oktober, polisi tidak dapat menemukan korban atau saksi apa pun dari segala bentuk kekerasan seksual.
Meskipun pihak Israel sendiri secara praktis mengakui bahwa klaim mereka tidak berdasar.
“Bahkan dalam beberapa kasus di mana [polisi] mengumpulkan kesaksian tentang pelanggaran seksual yang dilakukan pada tanggal 7 Oktober, mereka gagal menghubungkan tindakan tersebut dengan korban yang dirugikan oleh tindakan tersebut,” kata Haaretz.
Karena putus asa setelah tidak ditemukannya kasus kekerasan seksual dan karena pendudukan Israel berusaha untuk tidak menampilkan diri mereka dalam sorotan yang buruk dan mengabaikan tuduhan mereka bahwa Perlawanan memperkosa pemukim Israel, polisi menyerukan kepada masyarakat tampil dan memberikan "kesaksian" tentang masalah ini.
Saat wawancara dengan Christiane Amanpour dari CNN, Josh Paul, yang menjabat sebagai direktur kongres dan urusan masyarakat untuk Biro Urusan Politik-Militer Departemen Luar Negeri selama lebih dari 11 tahun, mengenang sebuah insiden ketika dia sebelumnya menjadi bagian dari pemeriksaan hak asasi manusia untuk proses pengiriman senjata ke Israel.
Paul merinci bagaimana sebuah badan amal bernama Defense of Children International Palestine menarik perhatian Departemen Luar Negeri atas “tuduhan yang dapat dipercaya” mengenai seorang anak Palestina berusia 13 tahun yang diperkosa di pusat penahanan al-Mascobiyya di al-Quds.
Mantan pejabat AS itu menekankan pentingnya mengutuk kekejaman yang terjadi “setiap hari terhadap warga Palestina di Tepi Barat.”
Setelah menyampaikan tuduhan tersebut kepada rezim Israel, Paul mengenang bahwa keesokan harinya Israel “menyingkirkan komputer mereka dan menyatakannya sebagai entitas teroris.”