TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis Iran Narges Mohammadi selama beberapa dekade telah berkampanye mengenai isu-isu paling sensitif di republik Islam tersebut. Pemenang Nobel Perdamaian 2023 itu menentang pilar-pilar sistem ulama termasuk hukuman mati dan kewajiban hijab, dan dengan tegas menolak untuk menghentikan kampanyenya bahkan di balik jeruji besi.
Seperti dilansir France24, Mohammadi sudah tidak bertemu anak-anaknya selama delapan tahun terakhir karena menghabiskan sebagian besar hidupnya di penjara. Ia bahkan mengakui bahwa tidak ada kemungkinan pembebasan dalam waktu dekat.
Namun Mohammadi, 51 tahun, tetap menegaskan perjuangannya tidak sia-sia, dan mengatakan bahwa gerakan protes yang meletus satu tahun lalu di Iran melawan rezim Republik Islam tersebut masih hidup.
Pertama kali ditangkap 22 tahun lalu, Mohammadi telah menghabiskan sebagian besar waktunya selama dua dekade terakhir keluar masuk penjara karena tak henti-hentinya mengkampanyekan hak asasi manusia di Iran. Dia terakhir dipenjara sejak November 2021.
“Dia adalah orang paling gigih yang saya kenal”, suaminya Taghi Rahmani, yang telah menjadi pengungsi di Prancis sejak 2012 bersama dua anak mereka, si kembar yang kini berusia 17 tahun.
“Dia punya tiga tujuan dalam hidupnya – penghormatan terhadap hak asasi manusia, komitmen feminisnya, dan keadilan atas semua kejahatan yang telah dilakukan,” kata Rahmani.
Meskipun dia hanya bisa menyaksikan dari balik jeruji besi protes yang terjadi setelah kematian Mahsa Amini pada 16 September 2022 – yang ditangkap karena melanggar aturan berpakaian bagi perempuan di Iran – dia mengatakan gerakan tersebut memperjelas tingkat kekerasan yang terjadi dan ketidakpuasan di masyarakat.
“Pemerintah tidak mampu mematahkan protes rakyat Iran,” katanya pada September dalam jawaban tertulis dari penjara Evin di Teheran tempat dia ditahan, menggambarkan gelombang protes sebagai hal yang “tidak dapat diubah.”