TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Keamanan PBB pada Senin memutuskan untuk mengirim pasukan multinasional ke Haiti yang dipimpin oleh Kenya untuk membantu memerangi geng-geng kriminal di negara Karibia yang bermasalah itu.
Keputusan ini diambil setahun setelah negara Karibia itu meminta bantuan PBB untuk memerangi geng-geng kriminal yang menguasai sebagian besar ibu kotanya, Port-au-Prince. Ini menandai pertama kalinya pasukan dikerahkan ke Haiti sejak misi yang disetujui PBB hampir 20 tahun lalu.
“Lebih dari sekedar pemungutan suara sederhana, ini sebenarnya merupakan ekspresi solidaritas terhadap masyarakat yang berada dalam kesusahan,” kata Jean Victor Généus, menteri luar negeri Haiti. “Ini adalah secercah harapan bagi orang-orang yang sudah terlalu lama menderita.”
Dewan beranggotakan 15 negara tersebut mengadopsi sebuah resolusi, yang dirancang oleh Amerika Serikat (AS) dan Ekuador, yang memberikan wewenang kepada misi Dukungan Keamanan Multinasional “untuk mengambil semua tindakan yang diperlukan” – sebuah kode untuk penggunaan kekuatan.
Namun, Cina dan Rusia abstain dalam pemungutan suara tersebut, karena khawatir PBB akan mengizinkan penggunaan kekuatan secara menyeluruh berdasarkan Bab 7 Piagam PBB. Sebanyak 13 anggota sisanya memberikan suara mendukung.
Resolusi tersebut mengizinkan pasukan tersebut untuk dikerahkan selama satu tahun, dan peninjauannya setelah sembilan bulan.
Tanggal penempatan belum ditentukan, meskipun Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken baru-baru ini mengatakan misi keamanan ke Haiti dapat dikerahkan “dalam beberapa bulan”.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Kenya, Alfred Mutua, mengatakan pekan lalu bahwa pasukan tersebut akan dikerahkan dalam waktu dua hingga tiga bulan, atau mungkin awal Januari. Dia juga mencatat bahwa para perwira kunci diajari bahasa Prancis.
Belum jelas seberapa besar kekuatan yang akan ditimbulkan. Pemerintah Kenya sebelumnya telah mengusulkan pengiriman 1.000 petugas polisi. Selain itu, Jamaika, Bahama, serta Antigua dan Barbuda juga telah berjanji mengirimkan personel.
“Dengan tindakan ini, dewan tersebut telah menyalakan secercah harapan bagi masyarakat Haiti yang terkepung,” kata Martin Kimani, perwakilan Kenya di PBB.
Bulan lalu, pemerintahan Presiden AS Joe Biden berjanji untuk menyediakan logistik dan US$100 juta untuk mendukung pasukan pimpinan Kenya.
Perwakilan Federasi Rusia, Vassily Nebenzia, mengatakan pada prinsipnya dia tidak keberatan dengan resolusi tersebut. Namun, mengatakan bahwa pengiriman angkatan bersenjata ke suatu negara bahkan atas permintaannya “merupakan tindakan ekstrem yang harus dipikirkan matang-matang.”
Perwakilan Cina, Zhang Jun, mengatakan dia berharap negara-negara yang memimpin misi tersebut akan mengadakan konsultasi mendalam dengan para pejabat Haiti mengenai penempatan pasukan keamanan dan menjelaskan penolakannya terhadap resolusi tersebut.
“Tanpa adanya pemerintahan yang sah, efektif, dan bertanggung jawab, dukungan eksternal apa pun akan sulit memberikan dampak jangka panjang,” katanya, seraya menambahkan bahwa konsensus untuk transisi sangat dibutuhkan serta jadwal yang “layak dan kredibel”. “Sayangnya, resolusi yang baru saja diadopsi gagal memberikan sinyal terkuat mengenai hal tersebut.”
Menteri Luar Negeri Haiti Généus mengatakan bersyukur resolusi tersebut disetujui karena angkatan bersenjata asing sangat penting. Namun, ia menekankan bahwa hal itu “tidak cukup.”
“Pembangunan sosial-ekonomi harus diperhitungkan untuk mengatasi kemiskinan ekstrem,” katanya.
Ia menambahkan bahwa kemiskinan ekstrem adalah sumber dari banyak masalah Haiti dan telah menciptakan lahan subur bagi perekrutan generasi muda oleh geng-geng.
Sekitar 60 persen dari 11 juta penduduk Haiti berpenghasilan kurang dari $2 per hari, dengan kemiskinan yang semakin parah dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan melonjaknya inflasi.
Pengerahan angkatan bersenjata diharapkan dapat memulihkan perdamaian dan keamanan di Haiti sehingga juga dapat menyelenggarakan pemilihan umum yang telah lama ditunggu-tunggu yang telah berulang kali dijanjikan oleh Perdana Menteri Ariel Henry setelah pembunuhan Presiden Jovenel Moïse pada Juli 2021.
Haiti kehilangan lembaga terakhir yang dipilih secara demokratis pada Januari setelah masa jabatan 10 senator yang tersisa berakhir, sehingga tidak ada satu pun anggota parlemen di DPR atau Senat negara tersebut. Sementara itu, Henry telah memerintah negaranya dengan dukungan komunitas internasional.
Presiden Dewan Keamanan PBB, Sérgio França dari Brasil, menyatakan bahwa tanpa solusi politik Haiti yang didasarkan pada pemilu yang bebas, transparan, dan adil, “tidak ada bantuan yang dapat menjamin keberhasilan jangka panjang.”
Intervensi internasional di Haiti mempunyai sejarah yang rumit. Misi stabilisasi yang disetujui PBB ke Haiti yang dimulai pada Juni 2004 dirusak oleh skandal pelecehan seksual dan masuknya penyakit kolera. Misi tersebut berakhir pada Oktober 2017.
Pilihan Editor: Amerika Serikat Kucurkan Bantuan Rp900 M untuk Atasi Kekerasan di Haiti
REUTERS