TEMPO.CO, Jakarta - Para pemimpin Asia Tenggara “mengutuk keras” kekerasan yang terus berlanjut di Myanmar, dan secara langsung menyalahkan pertumpahan darah tersebut pada para jenderal yang merebut kekuasaan dalam kudeta pada Februari 2021.
Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang beranggotakan 10 negara mengadakan pertemuan di Jakarta setelah para jenderal Myanmar gagal menerapkan apa yang disebut konsensus lima poin untuk mengakhiri krisis, yang mereka sepakati dengan ASEAN beberapa bulan setelah perebutan kekuasaan.
Para pemimpin “mendesak Angkatan Bersenjata Myanmar pada khususnya, dan semua pihak terkait di Myanmar untuk mengurangi kekerasan dan menghentikan serangan yang ditargetkan terhadap warga sipil, rumah dan fasilitas umum, seperti sekolah, rumah sakit, pasar,” kata para pemimpin tersebut dalam sebuah pernyataan.
“Kami mengutuk keras tindakan kekerasan yang terus berlanjut di Myanmar.”
Myanmar juga merupakan anggota ASEAN tetapi dilarang menghadiri acara-acara penting karena kegagalannya menerapkan konsensus lima poin.
Dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan pada hari Rabu di Global New Light of Myanmar yang dikelola pemerintah, kementerian luar negeri menolak pernyataan ASEAN dengan mengatakan: “Pandangannya tidak objektif dan keputusannya bias dan sepihak.”
Mengingat para pemimpinnya tidak berada di Jakarta, pernyataan tersebut mengatakan bahwa meskipun Myanmar telah diajak berkonsultasi mengenai rancangan tersebut, “pandangan dan suara” mereka belum diperhitungkan.
Myanmar dijadwalkan untuk memimpin kelompok beranggotakan 10 negara tersebut pada 2026. Namun para pemimpin regional sebelumnya sepakat bahwa Filipina akan mengambil peran tersebut pada 2026.
Keketuaan tersebut biasanya dirotasi setiap tahun berdasarkan urutan abjad nama-nama negara anggota dalam bahasa Inggris.
Myanmar, yang bergabung dengan ASEAN di bawah pemerintahan militer sebelumnya pada 1997, memimpin organisasi tersebut pada 2014 di bawah kepemimpinan sipil pertama negara tersebut.
AL JAZEERA
Pilihan Editor: 107 Korban TPPO ke Selandia Baru Minta Perlindungan ke LPSK