TEMPO.CO, Jakarta - Pertempuran kembali berkobar di Ibu Kota Sudan pada hari Selasa malam, 25 April 2023, meskipun ada deklarasi gencatan senjata yang diputuskan oleh parlemen. Utusan PBB mengatakan gencatan senjata sebagian tetap berlaku meskipun tidak ada tanda bahwa kedua belah pihak siap untuk pembicaraan serius.
Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan Pasukan Dukungan Cepat paramiliter (RSF) menyetujui gencatan senjata 72 jam yang dimulai pada hari Selasa setelah negosiasi yang dimediasi oleh AS dan Arab Saudi.
Namun tembakan dan ledakan terdengar setelah malam tiba di Omdurman, salah satu kota kembar Khartoum di Sungai Nil di mana tentara menggunakan drone untuk menargetkan posisi RSF, demikian dilaporkan Reuters.
Tentara juga menggunakan drone untuk mencoba mengusir pasukan parami,liter dari kilang bahan bakar di Bahri, kota ketiga di pertemuan Sungai Nil Biru dan Nil Putih.
Utusan khusus PBB untuk Sudan Volker Perthes mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB pada hari Selasa bahwa gencatan senjata "tampaknya bertahan di beberapa bagian sejauh ini."
Namun dia mengatakan bahwa tidak ada pihak yang menunjukkan kesiapan untuk "bernegosiasi secara serius, menunjukkan bahwa keduanya berpikir bahwa mengamankan kemenangan militer atas pihak lain adalah mungkin."
"Ini salah perhitungan," kata Perthes, seraya menambahkan bahwa bandara Khartoum beroperasi tetapi landasannya rusak.
Sejak krisis Sudan meletus pada 15 April dan menggagalkan transisi ke demokrasi sipil, paramiliter telah menempatkan diri mereka di distrik pemukiman dan tentara berusaha untuk menyerang mereka dari udara.
Pertempuran telah mengubah daerah pemukiman menjadi medan perang. Serangan udara dan artileri telah menewaskan sedikitnya 459 orang, melukai lebih dari 4.000 orang, menghancurkan rumah sakit dan membatasi distribusi makanan di negara di mana sepertiga dari 46 juta penduduknya bergantung pada bantuan makanan.
Sebuah roket menghantam pusat medis Al-Roumi di Omdurman pada hari Selasa dan meledak di dalam fasilitas tersebut, melukai 13 orang, kata seorang pejabat rumah sakit.
Tahanan dibebaskan
Sebagai tanda lebih lanjut dari memburuknya keamanan, mantan Menteri Sudan Ahmed Haroun, yang dicari oleh Pengadilan Kriminal Internasional atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Darfur, mengatakan dia dan pejabat lainnya diizinkan meninggalkan penjara Kober.
Menyusul laporan pembobolan penjara dalam beberapa hari terakhir, Haroun mengatakan bahwa kondisi di Kober semakin memburuk. Seorang pengunjuk rasa yang dipenjara di sana mengatakan dalam pernyataan yang diposting online pada hari Minggu bahwa para tahanan telah dibebaskan setelah seminggu tanpa air atau makanan.
Haroun dan pejabat di bawah mantan Presiden Omar al-Bashir yang berkuasa dalam kudeta militer 1989 dan digulingkan dalam pemberontakan rakyat pada 2019. ICC di Den Haag menuduh Haroun mengorganisir milisi untuk menyerang warga sipil dalam sebuah genosida di Darfur pada tahun 2003 dan 2004. Keberadaan Bashir tidak jelas.
Secara terpisah, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan salah satu pihak yang bertikai mengambil alih fasilitas kesehatan nasional di Khartoum dan menyatakan keprihatinan tentang potensi rusaknya vaksin campak dan kolera yang disimpan di sana.
Eksodus kedutaan dan pekerja bantuan dari negara terbesar ketiga Afrika itu telah menimbulkan kekhawatiran bahwa warga sipil yang tersisa akan berada dalam bahaya lebih besar jika kesepakatan gencatan senjata tiga hari sampai Kamis, tidak berlaku.
Tim keamanan nasional Presiden AS Joe Biden terus berbicara dengan para pemimpin militer Sudan untuk mengakhiri pertempuran dan memberikan bantuan kemanusiaan, kata juru bicara Gedung Putih pada hari Selasa.
Pertempuran melumpuhkan rumah sakit dan layanan penting lainnya, dan membuat banyak orang terdampar di rumah mereka dengan persediaan makanan dan air yang semakin menipis.
Dengan mayat berserakan di jalan-jalan, kelompok bantuan internasional Medecins Sans Frontieres (MSF) mengatakan tidak bisa mendapatkan pasokan atau personel baru ke Sudan.
Kantor kemanusiaan PBB (OCHA) mengatakan kekurangan makanan, air, obat-obatan dan bahan bakar menjadi "sangat akut", harga melonjak dan telah mengurangi operasi karena alasan keamanan.
Badan pengungsi PBB memperkirakan bahwa ratusan ribu orang akan melarikan diri ke negara tetangga.
Saat pemerintah asing mengevakuasi warga negaranya, warga Sudan yang tidak punya tempat tujuan mengatakan bahwa mereka merasa ditinggalkan.
"Mengapa dunia meninggalkan kami pada saat perang?" kata Sumaya Yassin, 27, menuduh kekuatan asing egois.
Sejak pertempuran meletus, puluhan ribu orang telah pergi ke negara tetangga Chad, Mesir, Ethiopia, dan Sudan Selatan.
Dengan warga sipil meninggalkan Khartoum dengan mobil dan bus, jalan-jalan di salah satu wilayah metropolitan terbesar di Afrika sebagian besar dikosongkan dari kehidupan sehari-hari. Mereka yang masih di kota berkerumun di rumah sementara para milisi dan tentara berkeliaran di luar.
“Tidak ada yang tersisa di gudang, tidak ada air, tidak ada makanan. Orang-orang mulai keluar bersenjata, dengan kapak, dengan tongkat," kata jurnalis Prancis Augustine Passilly melalui telepon ketika dia mencoba menyeberangi perbatasan ke Mesir.
REUTERS
Pilihan editor Anggota Partai Demokrat: Joe Biden Ketuaan untuk Maju Pilpres 2024