TEMPO.CO, Jakarta - Koordinasi multilateral dianggap masih penting untuk menyelesaikan invasi Rusia ke Ukraina, di tengah potensi membekunya perang dalam waktu lama seperti diisyaratkan Presiden Vladimir Putin. Konflik Eropa timur yang kini berdampak pada tata ekonomi dunia, termasuk ASEAN, dinilai dapat dihentikan lewat pihak ketiga.
"Jika Anda memiliki kerja sama, Anda dapat menegosiasikan akses penuh ke hal-hal ini (dampak ekonomi, ketersediaan pangan dan energi). Anda dapat menghindari persaingan yang sangat mengganggu itu. Itulah mengapa saya tetap percaya pada kerja sama multilateral sebagai respons terhadap krisis ini," kata Joel Ng, Wakil Kepala Pusat Studi Multilateralisme saat dialog di Sekretariat ASEAN, Jakarta, Jumat, 9 Desember 2022.
Sebuah pemandangan menunjukkan mobil dan bangunan rumah sakit hancur oleh serangan udara Rusia, di Mariupol, Ukraina, 9 Maret 2022. Menurut Ukraina, serangan udara ini dilancarkan di tengah kesepakatan gencatan senjata. Layanan pers Kepolisian Nasional Ukraina/Handout via REUTERS pemberitahuan
Saat berbicara di konferensi The Council for Security Cooperation in the Asia Pacific, peneliti dari Sekolah Hubungan Internasional S. Rajaratnam itu menyatakan ASEAN memiliki dokumen simbolis penting berupa Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC), yang menyatakan pentingnya perdamaian. Ini bisa menjadi pengingat historis dari bentuk kerja sama yang dibangun di tengah ketegangan kekuatan besar semasa Perang Dingin beberapa dekade.
Agresi Rusia ke Ukraina dimulai sejak 24 Februari 2022. Barat mengecam Moskow dengan sejumlah paket sanksi ekonomi dan isolasi di panggung internasional. Gempuran pasukan Rusia ke Ukraina masih berlangsung. Perkembangan terkini beberapa wilayah Ukraina, termasuk Kyiv, kesulitan mendapat akses listrik akibat pusat pasokan dibombardir Rusia.
Di beberapa momen, Cina dianggap bisa berperan penting dalam menyelesaikan krisis ini. Namun ambiguitas Moskow dalam menanggapi invasi dicurigai negara-negara Barat.
Penasihat Senior Institut Montaigne untuk Asia, François Godement, menilai fokus dalam membangun pihak ketiga lebih penting dibandingkan memperhatikan upaya diplomatik Beijing dalam menyelesaikan perang ini. Secara historis peran itu jarang diambil oleh China.
"Selama ini misalnya, mengenai masalah Korea Utara, kita terlalu banyak menghabiskan waktu, membujuk Cina agar lebih aktif, terlibat, intervensionis, ke dalam penyelesaian suatu masalah," kata Godement, dalam forum yang sama di Sekretariat ASEAN.
Presiden Putin dalam acara televisi pada Kamis, 8 Desember 2022, mengakui tentara Rusia berpotensi terlibat perang Ukraina untuk waktu yang lama. Dia menyebut pihaknya belum punya rencana menarik tentaranya. Rusia menyebut invasi ke Ukraina sebagai operasi militer khusus untuk membebaskan penduduk di Donbas. Kremlin kerap membantah menargetkan warga dan infrastruktur sipil.
Baca juga: Top 3 Dunia : Tentara Bayaran Asal Amerika Tewas di Perang Ukraina
Putin mengatakan risiko perang nuklir semakin besar. Akan tetapi, Rusia tidak akan sembarangan mengancam dalam menggunakan senjata nuklir.
"Kami belum gila, kami menyadari apa itu senjata nuklir. Kami memiliki sarana ini (senjata nuklir) dalam bentuk yang lebih maju dan modern daripada negara nuklir lainnya. Tapi kami tidak akan berkeliling dunia sambil mengacungkan senjata ini seperti pisau cukur," kata Putin.
Beberapa negara, termasuk Indonesia hingga Turki, mengupayakan jadi pihak ketiga yang menjembatani Kyiv dan Moskow. Kedua belah pihak bagaimanapun masih belum menunjukkan keinginan untuk berdamai. Keamanan dunia menjadi perhatian, termasuk ancaman penggunaan nuklir usai Rusia mencaplok sejumlah wilayah Ukraina, dan Kyiv enggan berunding selama Kremlin masih dikepalai Putin.
Dalam kesempatan terpisah, Pengamat Internasional Universitas Airlangga Radityo Dharmaputra mengatakan kerja sama di antara Indonesia dan negara dengan kekuatan menengah untuk menyediakan meja perundingan bagi Rusia dan Ukraina cukup terbuka. Sebab Indonesia dan India, misalnya, mendapat giliran menjadi presidensi G20 secara berurutan sampai tahun depan.
"Jadi selama ini Turki jalan sendiri di satu isu, Uni Emirat Arab jalan sendiri, tapi isu lain. Indonesia jalan sendiri berusaha jadi jembatan antara Kyiv dan Moskow, kenapa tidak bersama-sama?" kata Radityo dalam Conference of Indonesian Foreign Policy think tank FPCI di Jakarta, Sabtu, 26 November 2022.
Sidang ACT Digelar Virtual, Ahyudin Dengarkan Dakwaan dari Ruang di Bareskrim
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini